Pemberian Kuasa
I. Pendahuluan
Pada Negara common law/anglo saxon, pemberian kuasa (Power of Attorney) yang muncul juga merupakan perbuatan sepihak. Cirinya adalah penerima menyebut suatu nama pemberi kuasa pada waktu melakukan tindakan hukum yang disebut perwakilan langsung. Namun diakui juga adanya perwakilan tidak langsung yaitu apabila penerima kuasa bertindak untuk dirinya sendiri seperti makelar.
Pada umumnya kuasa diberikan secara sepihak, dan hanya menimbulkan wewenang bagi penerima kuasa (substitutor), tapi tidak menimbulkan kewajiban bagi penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa itu sehingga tidak memerlukan tindakan penerimaan dari penerima surat kuasa, akan tetapi hal ini masih menjadi perdebatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kejadian seputar surat kuasa yang menimpa advokat-advokat di pengadilan. Bahkan sebagian hakim masih menjalankan ‘rutinitas’ memeriksa kelengkapan surat kuasa yang digunakan Advokat ketika bersidang, khususnya tentang kewajiban para pihak menandatangani surat kuasa untuk menyatakan sahnya surat kuasa tersebut.
Begitu banyak persoalan yang muncul dari perjanjian pemberian kuasa, untuk itu penulis akan memaparkan dan berusaha mengulas tentang pemberian kuasa.
II. Rumusan Masalah
A. Definisi Perjanjian Pemberian Kuasa
B. Jenis-Jenis Pemberian KuasaC. Syarat-Syarat Sahnya Suatu PerjanjianD. Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa dan Penerima KuasaE. Berakhirnya Pemberian Kuasa
III. Pembahasan
Pada Negara common law/anglo saxon, pemberian kuasa (Power of Attorney) yang muncul juga merupakan perbuatan sepihak. Cirinya adalah penerima menyebut suatu nama pemberi kuasa pada waktu melakukan tindakan hukum yang disebut perwakilan langsung. Namun diakui juga adanya perwakilan tidak langsung yaitu apabila penerima kuasa bertindak untuk dirinya sendiri seperti makelar.
Pada umumnya kuasa diberikan secara sepihak, dan hanya menimbulkan wewenang bagi penerima kuasa (substitutor), tapi tidak menimbulkan kewajiban bagi penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa itu sehingga tidak memerlukan tindakan penerimaan dari penerima surat kuasa, akan tetapi hal ini masih menjadi perdebatan. Hal ini dapat dilihat dari banyaknya kejadian seputar surat kuasa yang menimpa advokat-advokat di pengadilan. Bahkan sebagian hakim masih menjalankan ‘rutinitas’ memeriksa kelengkapan surat kuasa yang digunakan Advokat ketika bersidang, khususnya tentang kewajiban para pihak menandatangani surat kuasa untuk menyatakan sahnya surat kuasa tersebut.
Begitu banyak persoalan yang muncul dari perjanjian pemberian kuasa, untuk itu penulis akan memaparkan dan berusaha mengulas tentang pemberian kuasa.
II. Rumusan Masalah
A. Definisi Perjanjian Pemberian Kuasa
B. Jenis-Jenis Pemberian KuasaC. Syarat-Syarat Sahnya Suatu PerjanjianD. Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa dan Penerima KuasaE. Berakhirnya Pemberian Kuasa
III. Pembahasan
A. Definisi Perjanjian Pemberian Kuasa
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (pasal 1792).
Kuasa dapat diberikan dan ditrima dalam suatu akte umum dalam suatu tulisan dibawah tangan, bahkan dalam sepucuk surat ataupun dengan lisan. Penerimaan suatu kuasa dapat pula terjadi secara diam-diam dan disimpulkan dari pelaksanaan kuasa itu oleh si kuasa (pasal 1793). Dari ketentuan ini dapat kita lihat bahwa pemberian kuasa itu adalah bebas dari sesuatu bentuk cara (formalitas) tertentu; dengan perkataan lain, ia adalah suatu perjanjian konsensual, artinya sudah mengikat (sah) pada derik tercapainya sepakat antara si pemberi dan penerima kuasa.
Algra, dkk mendefinisikan pemberian kuasa adalah
"Suatu persetujuan dengan mana pihak yang satu memberikan kuasa kepada pihak yang lain (penerima kuasa/lasthebber), yang menerimanya-untuk atas namanya sendiri atau tidak-menyelenggarakan satu perbuatan hukum atau lebih untuk yang memberi kuasa itu." (Algra, dkk., 1983: 260)
B. Jenis-Jenis Pemberian Kuasa
Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam macam, yaitu:
1. akta umum,
Pemberian kuasa dengan akta umum adalah suatu pemberian kuasa dilakukan antara pemberi kuasa dan penerima kuasa dengan menggunakan akta notaris atau akta notariel.
2. surat di bawah tangan,
Pemberian kuasa dengan surat di bawah tangan adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa,
3. lisan,
Pemberian kuasa secara lisan adalah suatu kuasa yang dilakukan secara lisan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa.
4. diam-diam,
Pemberian kuasa secara diam-diam adalah suatu kuasa yang dilakukan secara diam-diam oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa
5. cuma-cuma,
Sedangkan pemberian kuasa secara cuma-cuma adalah suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa,
6. kata khusus,
Pemberian kuasa khusus, yaitu suatu pemberian kuasa yang dilakukan antara pemberi kuasa dengan penerima kuasa,
7. umum (Pasal 1793 s.d. Pasal 1796 KUH Perdata).
pemberian kuasa umum, yaitu pemberian kuasa yang dilakukan oleh pemberi kuasa kepada penerima kuasa,
C. Syarat-syarat sahnya suatu perjanjian
Untuk sahnya suatu perjanjian diperlukan empat syarat:
1. Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya
2. Cakap untuk membuat suatu perjanjian
3. Mengenai suatu hal tertentu
4. Suatu sebab yang halal
Demikian menurut pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
Dua syarat yang pertama dinamakan syart-syarat subyektif, karena mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian, sedangkan dua syarat yang terahir dinamakan syarat-syarat obyektif karena mengenai perjanjiannya sendiri oleh obyek dari perbuatan hukum yang dilakukan itu
Orang yang membuat suatu perjanjian harus cakap menurut hukum. Pada asasnya setiap orang yang sudah dewasa atau akilbaliq dan sehat pikirannya, adalah cakap menurut hukum. Dalam pasal 1330 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata disebut sebagai orang-orang yang tidak cakap untuk membuat suatu perjanjian:
1. Orang-orang yang belum dewasa
2. Mereka yang ditaruh di bawah pengampuan
3. Orang perempuan dalam hal-hal yang diterapkan oleh Undang-Undang dan semua orang kepada siapa. Undang-Undang telah melarang membuat perjanjian-perjanjian tertentu
Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata seorang perempuan yang bersuami, untuk mengadakan suatu perjanjian, memerlukan bantuan atau izin (kuasa tertulis) dari suaminya (pasal 108 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata)
D. Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa
Hak dan Kewajiban Pemberi Kuasa dan Penerima Kuasa akan menimbulkan akibat hukum. Akibat hukum, yaitu timbulnya hak dan kewajiban para pihak. Kewajiban penerima kuasa disajikan berikut ini.
a. Melaksanakan kuasanya dan bertanggung jawab atas segala biaya, kerugian, dan bunga yang timbul dari tidak dilaksanakannya kuasa itu.
b. Menyelesaikan urusan yang telah mulai dikerjakannya pada waktu pemberi kuasa meninggal dan dapat menimbulkan kerugian jika tidak segera diselesaikan.
c. Bertanggung jawab atas segala perbuatan yang dilakukan dengan sengaja dan kelalaian-kelalaian yang dilakukan dalam menjalankan kuasanya.
d. Memberi laporan kepada pemberi kuasa tentang apa yang telah dilakukan, serta memberi perhitungan segala sesuatu yang diterimanya.
e. Bertanggung jawab atas orang lain yang ditunjuknya sebagai penggantinya dalam melaksanakan kuasanya:
(1) bila tidak diberikan kuasa untuk menunjuk orang lain sebagai penggantinya;
(2) bila kuasa itu diberikan tanpa menyebutkan orang tertentu, sedangkan orang yang dipilihnya ternyata orang yang tidak cakap atau tidak mampu (Pasal 1800 s.d. Pasal 1803 KUH Perdata).
Hak penerima kuasa adalah menerima jasa dari pemberi kuasa. Hak pemberi kuasa adalah menerima hasil atau jasa dari penerima kuasa. Kewajiban pemberi kuasa adalah
a. memenuhi perjanjian yang telah dibuat antara penerima kuasa dengan pemberi kuasa;
b. mengembalikan persekot dan biaya yang telah dikeluarkan penerima kuasa;
c. membayar upah kepada penerima kuasa;
d. memberikan ganti rugi kepada penerima kuasa atas kerugian yang dideritanya sewaktu menjalankan kuasanya;
e. membayar bunga atas persekot yang telah dikeluarkan penerima kuasa terhitung mulai dikeluarkannya persekot tersebut (Pasal 1807 s.d. Pasal 1810 KUH Perdata).
E. Berakhirnya pemberian kuasa
Ada lima cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu
1) penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa;
2) pemberitahuan penghentian kuasanya oleh pemberi kuasa;
3) meninggalnya salah satu pihak;
4) pemberi kuasa atau penerima berada di bawah pengampuan; atau
5) pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa;
6) kawinnya perempuan yang memberi dan menerima kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata)
IV. Kesimpulan
Pemberian kuasa adalah suatu perjanjian dengan mana seorang memberikan kekuasaan (wewenang) kepada seorang lain, yang menerimanya untuk atas namanya menyelenggarakan suatu urusan (pasal 1792). Apabila dilihat dari cara terjadinya, perjanjian pemberian kuasa dibedakan menjadi enam macam, yaitu: akta umum, surat di bawah tangan, lisan, diam-diam, cuma-cuma,kata khusus, dan umum (Pasal 1793 s.d. Pasal 1796 KUH Perdata).
Ada lima cara berakhirnya pemberian kuasa, yaitu
1) penarikan kembali kuasa oleh pemberi kuasa;
2) pemberitahuan penghentian kuasanya oleh pemberi kuasa;
3) meninggalnya salah satu pihak;
4) pemberi kuasa atau penerima berada di bawah pengampuan; atau
5) pailitnya pemberi kuasa atau penerima kuasa;
6) kawinnya perempuan yang memberi dan menerima kuasa (Pasal 1813 KUH Perdata)
V. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat kami susun,kami yakin bahwa dalam penulisan maupun penyampaian makalah ini masih ada banyak kekurangan-kekurangan. Untuk itu saran dan kritik yang membangun sangat saya butuhkan demi kesempurnaan makalah saya yang selanjutnya. Dan semoga makalah ini bermanfaat kita semua. Amin...........
DAFTAR PUSTAKA
Subekti. Hukum Perjanjian. PT Intermasa. Jakarta, 1979
sangat membantu
ReplyDelete