Konsep Ekonomi Islam
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah israf (pemborosan) atau tabzir (menghambur-hamburkan uang/harta tanpa guna).
Menurut Islam, anugerah-anugerah Allah itu milik semua manusia dan suasana yang menyebabkan sebagian di antara anugerah-anugerah itu berada di tangan orang-orang tertentu tidak berarti bahwa mereka dapat memanfaatkan anugerah-anugerah itu untuk mereka sendiri; sedangkan orang lain tidak memiliki bagiannya sehingga banyak diantara anugerah-anugerah yang diberikan Allah kepada umat manusia itu masih berhak mereka miliki walaupun mereka tidak memperolehnya. Dalam Al-Qur'an Allah SWT mengutuk dan membatalkan argumen yang dikemukakan oleh orang kaya yang kikir karena ketidaksediaan mereka memberikan bagian atau miliknya ini.
Bila dikatakan kepada mereka, "Belanjakanlah sebagian rizqi Allah yang diberikan-Nya kepadamu," orang-orang kafir itu berkata, "Apakah kami harus memberi makan orang-orang yang jika Allah menghendaki akan diberi-Nya makan? Sebenarnya kamu benar-benar tersesat."
Selain itu, perbuatan untuk memanfaatkan atau mengkonsumsi barang-barang yang baik itu sendiri dianggap sebagai kebaikan dalam Islam, karena kenikmatan yang dicipta Allah untuk manusia adalah ketaatan kepada-Nya Yang berfirman kepada nenek moyang manusia, yaitu Adam dan Hawa, sebagaimana tercantum dalam Al-Qur'an: " dan makanlah barang-barang yang penuh nikmat di dalamnya (surga) sesuai dengan kehendakmu " dan yang menyuruh semua umat manusia: "Wahai umat manusia, makanlah apa yang ada di bumi, dengan cara yang sah dan baik." Karena itu, orang Mu'min berusaha mencari kenikmatan dengan mentaati perintah-perintah-Nya dan memuaskan dirinya sendiri dengan barang-barang dan anugerah-anugerah yang dicipta (Allah) untuk umat manusia. Konsumsi dan pemuasan (kebutuhan) tidak dikutuk dalam Islam selama keduanya tidak melibatkan hal-hal yang tidak baik atau merusak. Allah SWT berfirman dalam Al-Qur'an: "Katakanlah, siapakah yang melarang (anugerah-anugerah Allah) yang indah, yang Dia cipta untuk hamba-hamba-Nya dan barang-barang yang bersih dan suci (yang Dia sediakan?)."
Konsumsi berlebih-lebihan, yang merupakan ciri khas masyarakat yang tidak mengenal Tuhan, dikutuk dalam Islam dan disebut dengan istilah isrâf (pemborosan) atau tabzîr (menghambur-hamburkan harta tanpa guna). Tabzir berarti mempergunakan harta dengan cara yang salah, yakni, untuk menuju tujuan-tujuan yang terlarang seperti penyuapan, hal-hal yang melanggar hukum atau dengan cara yang tanpa aturan. Setiap kategori ini mencakup beberapa jenis penggunaan harta yang hampir-hampir sudah menggejala pada masyarakat yang berorientasi konsumer. Pemborosan berarti penggunaan harta secara berlebih-lebihan untuk hal-hal yang melanggar hukum dalam hal seperti makanan, pakaian, tempat tinggal atau bahkan sedekah. Ajaran-ajaran Islam menganjurkan pola konsumsi dan penggunaan harta secara wajar dan berimbang, yakni pola yang terletak diantara kekikiran dan pemborosan. Konsumsi di atas dan melampaui tingkat moderat (wajar) dianggap isrâf dan tidak disenangi Islam.
Salah satu ciri penting dalam Islam adalah bahwa ia tidak hanya mengubah nilai-nilai dan kebiasaan-kebiasaan masyarakat tetapi juga menyajikan kerangka legislatif yang perlu untuk mendukung dan memperkuat tujuan-tujuan ini dan menghindari penyalahgunaannya. Ciri khas Islam ini juga memiliki daya aplikatifnya terhadap kasus orang yang terlibat dalam pemborosan atau tabzîr. Dalam hukum (Fiqh) Islam, orang semacam itu seharusnya dikenai pembatasan-pembatasan dan, bila dianggap perlu, dilepaskan dan dibebaskan dari tugas mengurus harta miliknya sendiri. Dalam pandangan Syarî'ah dia seharusnya diperlakukan sebagai orang tidak mampu dan orang lain seharusnya ditugaskan untuk mengurus hartanya selaku wakilnya.
Perilaku konsumen (consumer behavior) mempelajari bagaimana manusia memilih di antara berbagai pilihan yang dihadapinya dengan memanfaatkan sumberdaya (resources) yang dimilikinya.
Teori perilaku konsumen yang dibangun berdasarkan syariah Islam, memiliki perbedaan yang mendasar dengan teori konvensional. Perbedaan ini menyangkut nilai dasar yang menjadi fondasi teori, motif dan tujuan konsumsi, hingga teknik pilihan dan alokasi anggaran untuk berkonsumsi.
Ada tiga nilai dasar yang menjadi fondasi bagi perilaku konsumsi masyarakat muslim:
- Keyakinan akan adanya hari kiamat dan kehidupan akhirat, prinsip ini mengarahkan seorang konsumen untuk mengutamakan konsumsi untuk akhirat daripada dunia. Mengutamakan konsumsi untuk ibadah daripada konsumsi duniawi. Konsumsi untuk ibadah merupakan future consumption (karena terdapat balasan surga di akherat), sedangkan konsumsi duniawi adalah present consumption.
- Konsep sukses dalam kehidupan seorang muslim diukur dengan moral agama Islam, dan bukan dengan jumlah kekayaan yang dimiliki. Semakin tinggi moralitas semakin tinggi pula kesuksesan yang dicapai. Kebajikan, kebenaran dan ketaqwaan kepada Allah merupakan kunci moralitas Islam. Kebajikan dan kebenaran dapat dicapai dengan prilaku yang baik dan bermanfaat bagi kehidupan dan menjauhkan diri dari kejahatan.
- Kedudukan harta merupakan anugrah Allah dan bukan sesuatu yang dengan sendirinya bersifat buruk (sehingga harus dijauhi secara berlebihan). Harta merupakan alat untuk mencapai tujuan hidup, jika diusahakan dan dimanfaatkan dengan benar.(QS.2.265)
Imam Shatibi menggunakan istilah 'maslahah', yang maknanya lebih luas dari sekadar utility atau kepuasan dalam terminologi ekonomi konvensional. Maslahah merupakan tujuan hukum syara' yang paling utama.
Menurut Imam Shatibi, maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992). Ada lima elemen dasar menurut beliau, yakni: kehidupan atau jiwa (al-nafs), properti atau harta benda (al mal), keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), dan keluarga atau keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mendukung tercapainya dan terpeliharanya kelima elemen tersebut di atas pada setiap individu, itulah yang disebut maslahah.
Adapun sifat-sifat maslahah sebagai berikut:
- Maslahah bersifat subyektif dalam arti bahwa setiap individu menjadi hakim bagi masing-masing dalam menentukan apakah suatu perbuatan merupakan suatu maslahah atau bukan bagi dirinya. Namun, berbeda dengan konsep utility, kriteria maslahah telah ditetapkan oleh syariah dan sifatnya mengikat bagi semua individu. Misalnya, bila seseorang mempertimbangkan bunga bank memberi maslahah bagi diri dan usahanya, namun syariah telah menetapkan keharaman bunga bank, maka penilaian individu tersebut menjadi gugur.
- Maslahah orang per seorang akan konsisten dengan maslahah orang banyak. Konsep ini sangat berbeda dengan konsep Pareto Optimum, yaitu keadaan optimal di mana seseorang tidak dapat meningkatkan tingkat kepuasan atau kesejahteraannya tanpa menyebabkan penurunan kepuasan atau kesejahteraan orang lain.
- Konsep maslahah mendasari semua aktivitas ekonomi dalam masyarakat, baik itu produksi, konsumsi, maupun dalam pertukaran dan distribusi.
- Berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk maslahah jenis pertama dan berapa untuk maslahah jenis kedua.
- Bagaimana memilih di dalam maslahah jenis pertama: berapa bagian pendapatannya yang akan dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan kehidupan dunia (dalam rangka mencapai 'kepuasan' di akhirat) dan berapa bagian untuk kebutuhan akhirat.
Kebutuhan Dan Keinginan
Sebagaimana kita pahami dalam pengertian ilmu ekonomi konvensional, bahwa ilmu ekonomi pada dasarnya mempelajari upaya manusia baik sebagai individu maupun masyarakat dalam rangka melakukan pilihan penggunaan sumber daya yang terbatas guna memenuhi kebutuhan (yang pada dasarnya tidak terbatas) akan barang dan jasa. Kelangkaan akan barang dan jasa timbul bila kebutuhan (keinginan) seseorang atau masyarakat ternyata lebih besar daripada tersedianya barang dan jasa tersebut. Jadi kelangkaan ini muncul apabila tidak cukup barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan tersebut.
Ilmu ekonomi konvensional tampaknya tidak membedakan antara kebutuhan dan keinginan. Karena keduanya memberikan efek yang sama bila tidak terpenuhi, yakni kelangkaan. Dalam kaitan ini, Imam al-Ghazali tampaknya telah membedakan dengan jelas antara keinginan (raghbah dan syahwat) dan kebutuhan (hajat), sesuatu yang tampaknya agak sepele tetapi memiliki konsekuensi yang amat besar dalam ilmu ekonomi. Dari pemilahan antara keinginan (wants) dan kebutuhan (needs), akan sangat terlihat betapa bedanya ilmu ekonomi Islam dengan ilmu ekonomi konvensional.
Menurut Imam al-Ghazali kebutuhan (hajat) adalah keinginan manusia untuk mendapatkan sesuatu yang diperlukan dalam rangka mempertahankan kelangsungan hidupnya dan menjalankan fungsinya. Kita melihat misalnya dalam hal kebutuhan akan makanan dan pakaian. Kebutuhan makanan adalah untuk menolak kelaparan dan melangsungkan kehidupan, kebutuhan pakaian untuk menolak panas dan dingin. Pada tahapan ini mungkin tidak bisa dibedakan antara keinginan (syahwat) dan kebutuhan (hajat) dan terjadi persamaan umum antara homo economicus dan homo Islamicus. Namun manusia harus mengetahui bahwa tujuan utama diciptakannya nafsu ingin makan adalah untuk menggerakkannya mencari makanan dalam rangka menutup kelaparan, sehingga fisik manusia tetap sehat dan mampu menjalankan fungsinya secara optimal sebagai hamba Allah yang beribadah kepadaNya. Di sinilah letak perbedaan mendasar antara filosofi yang melandasi teori permintaan Islami dan konvensional. Islam selalu mengaitkan kegiatan memenuhi kebutuhan dengan tujuan utama manusia diciptakan. Manakala manusia lupa pada tujuan penciptaannya, maka esensinya pada saat itu tidak berbeda dengan binatang ternak yang makan karena lapar saja.
Konsep Islam tentang Barang
Konsep Ekonomi Islam
Al Qur'an senantiasa menyebut barang-barang yang dapat dikonsumsi dengan menggunakan istilah-istilah yang mengaitkan nilai-nilai moral dan ideologik terhadap keduanya, yaitu istilah at-tayyibat dan ar-rizq.
Penjelasan
Dalam kerangka acuan Islam, barang-barang adalah anugerah-anugerah yang diberikan oleh Allah SWT kepada umat manusia. Penelaahan terhadap Al-Qur'ân memberikan kepada kita konsep unik tentang berbagai produk dan komoditas. Al-Qur'ân senantiasa menyebut barang-barang yang dapat dikonsumsi dengan menggunakan istilah-istilah yang mengaitkan nilai-nilai moral dan ideologik terhadap keduanya. Dalam hal ini dua macam istilah yang digunakan dalam Al-Qur'ân adalah (1). at-tayyibât dan (2) ar-rizq.
Istilah yang pertama, yaitu at-tayyibât, diulang-ulang sebanyak 18 kali dalam Al-Qur'ân. Dalam menerjemahkan istilah ini ke dalam bahasa Inggris, Yûsuf 'Alî secara bergantian mempergunakan lima macam frasa untuk menyatakan nilai-nilai etik dan spiritual terhadap istilah itu. Menurut pendapatnya, at-tayyibât berarti "barang-barang yang baik," "barang-barang yang baik dan suci," "barang-barang yang bersih dan suci," "hal-hal yang baik dan indah," dan "makanan di antara yang terbaik." Dengan demikian barang-barang konsumsi terikat erat dengan nilai-nilai dalam Islam, dengan menunjukkan nilai-nilai kebaikan, kesucian dan keindahan. Sebaliknya benda-benda yang buruk, tidak suci (najis) dan tidak bernilai tidak dapat digunakan dan juga tidak dapat dianggap sebagai barang-barang konsumsi dalam Islam.
Istilah yang kedua, yaitu ar-rizq, dan kata-kata turunnya diulang-ulang dalam Al-Qur'ân sebanyak 120 kali. Dalam terjemahan Al-Qur'ân Yûsuf 'Alî kata ar-rizq digunakan untuk menunjukkan beberapa makna sebagai berikut: "Makanan dari Tuhan," "Pemberian Tuhan," "Bekal dari Tuhan," dan "anugerah-anugerah dari langit." Semua makna ini menunjukkan konotasi bahwa Allah adalah Pemberi Rahmat yang sebenarnya dan pemasok kebutuhan semua makhluk.
Sebagai konsekuensinya, dalam konsep Islam, barang-barang konsumen adalah bahan-bahan konsumsi yang berguna dan baik yang manfaatnya menimbulkan perbaikan secara material, moral maupun spiritual pada konsumennya. Barang-barang yang tidak memiliki kebaikan dan tidak membantu meningkatkan manusia, menurut konsep Islam, bukan barang dan juga tidak dapat dianggap sebagai milik atau aset umat Muslim. Karena itu, barang-barang yang terlarang tidak dianggap sebagai barang dalam Islam.
Marilah kita perbandingkan konsep Islam mengenai barang-barang konsumsi ini dengan konsep bukan-Ilahi mengenai pemanfaatan yang ada dalam ekonomi modern. Meskipun dalam ekonomi modern segala sesuatu memiliki manfaat ekonomik bila ia dapat dipertukarkan di pasar, dalam Islam merupakan salah satu syarat yang perlu tetapi tidak memadai untuk mendefinisikan barang-barang. Barang-barang seharusnya bermanfaat secara moral dan juga dapat dipertukarkan di pasar sehingga memiliki manfaat ekonomik.
Konsep Dasar Ekonomi Islam
Ketauhidan Sesuai Dengan Fitrah Manusia
Al-A’raf:172. Dan (ingatlah), ketika Tuhanmu mengeluarkan keturunan anak-anak Adam dari sulbi mereka dan Allah mengambil kesaksian terhadap jiwa mereka (seraya berfirman): "Bukankah Aku ini Tuhanmu?" Mereka menjawab: "Betul (Engkau Tuhan kami), kami menjadi saksi." (Kami lakukan yang demikian itu) agar di hari kiamat kamu tidak mengatakan: "Sesungguhnya kami (bani Adam) adalah orang-orang yang lengah terhadap ini (keesaan Tuhan)“.
Kenapa Ekonomi Islam?
Surat Adz-Dzariyat:56
“Tujuan hidup dalam Islam adalah untuk beribadah kepada Allah”(QS.51:56)
Prinsip Ekonomi Islam:
Tauhid
Falah
Khilafah
Al amwal
Adl
Ukhuwah
Akhlak
Ulil amri
Hurriyah and Masuliyah
Kerjasama
Metodologi Ekonomi Islam
Source Of Knowledge :
Al-quran
As-Sunnah
(Ijtihad)
History of Islamic Civilization
Data about economy
Landasan Pengembangan Ilmu
Iman (epistemology)
Ilmu (ontology in scientific term)
Amal (ontic)
Metodologi Ekonomi Islam Choudhury
Disebut metodologi Tawhidi String Relation (TSR) yang didalamnya terdapat proses interaksi,integrasi dan proses evolusi pengetahuan manusia (shuratic process).
Dibangun dengan menempatkan Allah sebagai sumber pengetahuan yang mutlak dan direpresentasikan melalui Al-Qur’an dan sunnah. untuk ditafsirkan melalui proses evolusi berpikir manusia yang kemudian diamalkan.
Proses amal/implementasi pengetahuan yang diperoleh manusia dievaluasi kembali berdasarkan rujukan Alquran dan Sunnah untuk membentuk pengetahuan baru.
Tauhidi String Relation
- Dalam bahasa yang sederhana, Tauhidi String Relation menggambarkan bahwa semua ilmu yang ada di dunia (yang dikuasai manusia) (θN ) merupakan sebahagian kecil dari ilmu Allah (Ω)
- Ilmu Allah yang ada di bumi ini tersebar diantara sekian banyak ummat manusia, dengan penguasaan ilmu yang berbeda-beda baik jenis maupun tingkatannya. (θ1, θ2, θ3....N)
- Berdasarkan fenomena maka perlu ada proses interaksi, integrasi dan evolusi pengetahuan bersama (IIE) untuk penyatuan Ilmu Pengetahuan. Choudury menyebut proses ini dengan shuratic Process.
Istilah shuratic process diturunkan dari terminologi esensi konsep shura (syuraa/syuro/ musyarawah/) sebagai media sarana konsultasi umat Islam dalam memahami ibadah sampai ke persoalan politik, hukum, institusi kenegaraan, ekonomi dan juga sistem sosial budaya masyarakat sebagai sesuatu yang tidak berdiri sendiri dan sempit melainkan dalam kerangka yang lebih luas dan saling terkait satu sama lain
Model-model Mikroekonomi Islam
Konsumsi
Produksi
Distribusi
Peran pemerintah
Perilaku Konsumsi Muslim
- Ketika homo economicus tidak mampu menjelaskan prilaku manusia secara lengkap, dan kesadaran para pembaharu ekonomi konvensional terhambat dengan tidak adanya standar moral yang dapat dijadikan acuan, maka Islam menjadi solusi satu-satunya.
- Pandangan Islam terhadap manusia dan bagaimana prilaku ekonominya adalah konsep yang syumuliyah ( komprehensif ) . Konsep ini dapat di singkat dengan istilah homo islamicus
Homo Islamicus mengarahkan manusia pada tujuan hakiki yaitu FALAH
Beberapa properti dari homo islamicus
- Islam mendorong manusia mempergunakan akal dan fikiran-nya,sehingga ia harus rasional, namun kemampuannya tidak tak terbatas. Artinya Manusia adalah tidak sempurna/memiliki keterbatasan dalam arti sebagai makhluk ciptaan Allah SWT .
- Manusia dikendalikan juga oleh emosi, tidak semata logika. Emosi seringkali adalah tidak rasional sehingga rasionalitas logika tak bisa selalu diikuti, karena itu Islam memberikan pedoman bagi manusia dalam melakukan aktivitas ekonomi. Menurut Islam, manusia tidak mengetahui apa yang terbaik bagi diri-nya karena keterbatasan pengetahuan. Hanya Allah SWT yang memiliki pengetahuan sempurna..
- Manusia secara inherent akan memaksimalkan kesejahteraan material. Islam mengakui dorongan memiliki materi ini, namun dibatasi oleh nilai-nilai seperti tidak boleh berlebihan, boros, bermewahan, dll.
- Islam memandang bahwa utility individu adalah tergantung pada utility individu lainnya (interdependent utility).
Empat Pedoman Syariah dalam Berkonsumsi
- Azas maslahat dan manfaat : membawa maslahat dan manfaat bagi jasmani dan rohani dan sejalan dengan nilai maqasid syariah. Termasuk dalam hal ini kaitan konsumsi dengan halal dan thoyyib.
- Azas kemandirian : ada perencanaan, ada tabungan, mengutang adalah kehinaan. Nabi SAW menyimpan sebagian pangan untuk kebutuhan keluarganya selama setahun ( H.R Muslim ). “ Ya Allah jauhkanlah hamba dari kegundahan dan kesedihan, kelemahan dan kemalasan, kebodohan dan kebakhilan, beratnya utang, serta tekanan orang lain ( H.R Bukhari – Muslim ).
- Azas kesederhanaan: bersifat qanaah, tidak mubazir. Al-Maidah : 87 “ Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang Telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas.”
- Azas Sosial : anjuran berinfaq . “ dan mereka bertanya kepadamu apa yang mereka nafkahkan. Katakanlah, ‘ apa yang lebih dari keperluan (al-afwu). Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayatNya kepadamu agar kamu berpikir ( Al-Baqarah : 219 )
- Kemashlahatan adalah perlindungan terhadap maslahah adalah sifat atau kemampuan barang dan jasa yang mendukung elemen-elemen dan tujuan dasar dari kehidupan manusia di muka bumi ini (Khan dan Ghifari, 1992).
- Maslahah dicapai dengan perlindungan lima elemen dasar , yakni: keyakinan (al-din), intelektual (al-aql), keluarga atau keturunan (al-nasl), kehidupan atau jiwa (al-nafs), dan properti atau harta benda (al mal).
Dharruriyah
kebutuhan yang sifatnya mendasar dan harus ada, dalam suatu kehidupan guna menjalankan aktivitas kehidupan termasuk menjaga maqashid syariah
Hajjiyah
Bukan sesuatu yang mendasar tapi memudahkan aktivitas kehidupan
Tahsiniyah
Suatu kebutuhan yang sifatnya mewah, nyaman, indah, luxuriuss
Konsumsi dalam Islam
Konsumsi dalam Islam dibedakan atas:
Konsumsi duniawi: konsumsi untuk pemenuhan jasmani dan rohani.
Konsumsi akhirat: konsumsi untuk kepentingan ibadah termasuk ibadah yang berdimensi sosial seperti pengeluaran sedekah, infak, zakat dan wakaf.
Halal Vs Haram
- Halal dan Haram dalam Islam bukan suatu pilihan, karena barang haram adalah barang yang tidak mashlahah dan jelas tidak dipilih.
- Pilihan hanya dilakukan atas barang halal dengan nilai kegunaan yang lebih tinggi atau lebih rendah
- Utilitas adalah kemanfaatan atau nilai guna dari suatu benda. Nilai utilitas ini akan semakin menurun jika ketersediaan semakin banyak.
- Pilihan kepada utilitas adalah pilihan yang dilandasi oleh rasionalitas seorang muslim
- Apakah utilitas bertentangan dengan maslahah?
- Utilitas tidak bertentangan dengan maslahah bahkan dalam Islam seorang muslim juga harus rasional
- Rasionalitas merupakan implikasi dari prinsip kebebasan dan tanggung jawab dalam ekonomi Islam dan juga prinsip khalifah sebagai pemakmur bumi.
- Namun utilitas dalam Islam tidak hanya didasarkan kepada rasionalitas belaka namun juga dibatasi pada hal-hal yang membawa kemashlahatan.
- Sehingga dalam hal ini kemashlahatan merupakan koridor yang memagari pilihan seorang konsumen muslim atas barang x atau barang y
- Salah satu ayat yang mendukung bahwa utilitas tidak bertentangan dengan maslahah dapat dilihat pada AlQuran surat Ali Imran ayat 14.
Produksi dan Biaya
- Sebagaimana Konsumsi, Produksi dalam Islam, dilakukan dengan kerangka MASLAHAT
- Kemaslahatan ini dilihat dari penggunaan faktor produksi yang halal (termasuk modal), proses produksi yang halal dan berkah (termasuk gaji pekerja) dan juga pemasaran atau distribusi dilakukan dengan sistem yang disesuaikan dengan syariah.
- Biaya adalah segala sesuatu yang dikeluarkan untuk mendapatkan sesuatu.
- Contoh: Biaya Transport, biaya akomodasi, dll
- Biaya produksi adalah biaya yang dikeluarkan dalam rangka memproduksi sesuatu yang baru
- Contoh: Biaya untuk membuat baju, biaya untuk membuat roti/kue, …dll
- Biaya dalam produksi dapat dibedakan atas biaya yang eksplisit dan implisit
- Biaya eksplisit adalah biaya yang dikeluarkan secara aktual oleh perusahaan. Contoh: biaya iklan, biaya tenaga kerja, maintenance, dll
- Biaya implisit adalah biaya yang tidak hanya memperhitungkan keuntungan secara eksplisit, melainkan memperhitungkan juga biaya peluang atau opportunity cost
- Contoh Hasan membuka usaha kue dengan investasi awal sebesar 100 juta. Di akhir tahun, beliau mendapat keuntungan sebesar 10 juta.
- Contoh di atas hanya memperkirakan biaya eksplisit belum memperhitungkan biaya implisit. Biaya implisit adalah biaya yang haus diperhitungkan jika Hasan tidak mengalokasikan uangnya untuk membuka toko kue tetapi memilih untuk membeli sukuk dengan return sebesar 20 %, atau kalau Hasan memilih bekerja sebagai konsultan dengan gaji rata-rata per bulan 5 juta rupiah
- Berbicara mengenai biaya produksi tidak akan terlepas dari masalah produksi
- Dalam produksi juga dibedakan atas jangka pendek dan jangka panjang
Prinsip kebebasan,
Tanggungjawab dan
Kerjasama
Keadilan
Prinsip pertanggungajawaban individu merupakan hal yang mendasar dalam ajaran Islam, yang ditekankan oleh Al Quran dan Sunnah.
- Setiap orang akan dihisab secara sendiri-sendiri di Hari Pembalasan, dan ini bahwa diterapkan pada Nabi dan kerabat terdekatnya.
- Tidak ada konsep dosa turunan, tidak ada seorangpun mempertanggung jawabkan kesalahan orang lain.
- Setiap individu mempunyai hubungan langsung dengan Allah SWT. Permintaan maaf harus disampaikan secara langsung kepada Allah.
- Setiap individu mempunyai hak penuh untuk berkonsultasi langsung dengan sumber-sumber hukum islam (Al Quran dan Hadis).
- Islam telah disempurnakan bersamaan dengan akhir wahyu yang disampaikan kepada Nabi SAW. Tidak seorang pun bisa menambah, menghapus, atau bahkan mengubah satu ayat pun.
Dimulai dengan kebebasan untuk memilih kepercayaan seseorang dan berakhir dengan keputusan yang paling sederhana yang dibuat oleh seseorang.
Oleh karena itu, kebebasan adalah saudara kembar pertanggungjawaban.
Kebebasan dalam perekonomian
Dicontohkan pada saat Nabi SAW menolak penetapan harga, walaupun ketika harga ketika itu harga sangat tinggi.
Penolakannya didasarkan pada prinsip keterbukaan dalam bisnis, dimana tidak memperbolehkan produsen dalam menjual barangnya pada tingkat yang lebih rendah dari harga pasar,
sepanjang perubahan harga itu disebabkan oleh kondisi atau faktor riil penawaran dan permintaan tanpa adanya kekuatan monopoli dan monopsoni.
Ibn Taimiyah membatasi kebebasan ekonomi adalah ”Individu sepenuhnya diberi kewenangan untuk menjaga hak miliknya, dan tidak satu pun yang dapat mengambil milik orang lain tanpa ada izin dan perjanjian yang dibenarkan, kecuali pada beberapa kasus tertentu yang jelas dimana mereka diharuskan untuk memberikannya, seperti pengeluaran zakat atas harta kita.”
Sedangkan, Muhammad Nejatullah Siddiqi (1979) menegaskan bahwa islam bersandarkan pada mekanisme pasar. Implikasi dari sandaran ini adalah doktrin-doktrin ekonomi yang diajukan oleh Ibn Taimiyah, sebagai berikut:
Orang bebas masuk dan meninggalkan pasar.
Tingkat informasi yang memadai mengenai kekuatan dan komoditas yang diperdagangkan di pasar adalah sangat perlu.
Unsur-unsur monopolistik harus dihapuskan di dalam pasar.
Dalam hal kebebasan, Ibn Taimiyah mengakui pengaruh meningkatnya permintaan dan menurunnya penawaran terhadap harga.
Adanya penyimpangan dari praktek kebebasan ekonomi yang jujur. Dan komoditas yang diperjualbelikan harus mengikuti norma-norma Al Quran.
Yang membedakan islam dengan konvensional: Kerjasama (Tolong menolong dalam kebaikan)
Kerjasama dalam menjalankan kebaikan sangat diperintahkan Allah dalam firman-firmanNya, apakah yang berhubungan dengan masalah spiritual, urusan ekonomi ataupun aktiviatas sosial. Nabi SAW menekankan kerja sama antar muslim sebagai fondasi dasar aktivitas masyarakat islam.
Kadangkala, kerjasama dapat dilakukan dengan redistribusi atas pendapatan atau kekayaan. Nabi SAW mendorong tindakan redistribusi dengan sebutan al-Ash’ariyah, dengan sabdanya yang artinya:
"ketika al-Ash’ariyan mengalami kekurangan makanan dalam peperangan, mereka mengumpulkan semua yang mereka punyai di suatu tempat dan membagi rata antar mereka sendiri. Mereke adalah golonganku dan saya adalah mereka."
Pasar Persaingan tidak sempurna (ex. Monopoli) merupakan bentuk pasar yang dianggap memberikan efek negatif terhadap kesejahteraan masyarakat.
Meski demikian, jika monopoli bersifat alamiah, namun bisa memberi kemashlahatan, maka monopoli bukan sesuatu yang dilarang dalam Islam
Monopoli yang dilarang, jika melakukan kecurangan,tadlis, najsy, ikhtikar dan termasuk juga mengambil keuntungan diluar batas sehingga merugikan masyarakat banyak
Peran Pemerintah
Peran pemerintah dalam ekonomi mikro tidak sebatas untuk memberikan regulasi harga namun memastikan kegiatan produksi, konsumsi maupun distribusi tetap dalam kerangka Maslahah.
Peran pemerintah direpresentasikan oleh lembaga pengawas yang disebut dengan lembaga Hisbah.
0 Response to "Konsep Ekonomi Islam"
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar anda. Kritik atau saran sangat saya harapkan untuk menjadikan lebih baik ke depannya. Komentar akan dimoderasi sebagai filter terhadap komentar-komentar yang tidak sesuai. Tabik!