-->

WM1

Sejarah Pendidikan di Jawa


I. Pendahuluan

Sumber pokok kekuatan manusia adalah pengetahuan. Mengapa? Karena manusia dengan pengetahuannya mampu melakukan olah cipta sehingga ia mampu bertahan dalam masa yang terus dan berkembang. Proses olah cipta tersebut terlaksana berkat adanya sebuah aktivitas yang dinamakan pendidikan. Pendidikan menurut KBBI berarti sebuah kegiatan perbaikan tata laku dan pendewasaan manusia melalui pengetahuan. Bila kita lihat jauh kebelakang, pendidikan yang kita kenal sekarang ini sebenarnya merupakan adopsi dari berbagai model pendidikan di masa lalu. 

Informasi mengenai bagaimana model pendidikan di masa prasejarah masih belum dapat terkonstruksi dengan sempurna. Namun bisa diasumsikan media pembelajaran yang ada pada masa itu berkaitan dengan konteks sosial yang sederhana. Terutama berkaitan dengan adaptasi terhadap lingkungan di kelompok sosialnya.

Membicarakan dinamika pendidikan, tidak bisa dilepaskan dari membicarakan lembaga pendidikan sebagai tempat berlangsungnya interaksi proses belajar mengajar.[1] Sistem pendidikan sering dipahami sebagai suatu pola menyeluruh dari proses pendidikan dalam lembaga-lembaga formal, agen-gen., serta organisasi dengan mentransfer pengetahuan, warisan kebudayaan serta sejarah kemanusiaan yang mempengaruhi pertumbuhan sosial, spiritual, dan intelektual. Artinya, sistem pendidikan tidak bisa dipisahkan dari sistem-sistem di luarnya, seperti sistem politik, sistem tata laksana, sistem keuangan, dan sistem kehakiman. 

Karena itu kalau kita hendak memahami sistem pendidikan islam, misalnya dibutuhkan informasi yang menyajikan konstruk sosial, politik, dan pemikiran tokoh keagamaan islam pada masa-masa tertentu. Dalam makalah ini akan bi bahas mengenai model atau sistem pendidikan di jawa dari masa ke masa, yaitu pada masa Hindu Buddha, permulaan masuk Islam, kolonial Belanda dan pada masa Walisongo datang dan menyebarkan Islam di Jawa. 

II. Pembahasan

1. Pendidikan Masa Hindu Buddha

Pembahasan sejarah Hindu Buddha di Indonesia akrab di awali dari kemunculan beberapa kerajaan di abad ke-5 M, antara lain: kerajaan Hindu Buddha di Kutai [kalimantan]. Di Jawa barat muncul kerajaan Hindu Tarumanegara. Pada masa ini lembaga-lembaga pendidikan telah ada di Indonesia khususnya di Jawa sejak periode permulaan. Pada masa ini pendidikan melekat dengan agama. 

Pada masa Hindu Buddha ini, kaum Brahmana merupakan golongan yang menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran. Perlu dicatat bahwa sistem kasta tidaklah diterapkan di Indonesia setajam sebagaimana yang terjadi di India. Adapun materi-materi pelajaran yang diberikan ketika itu antara lain: teologi, bahasa dan sastra, ilmu-ilmu kemasyarakatan, ilmu-ilmu eksakta seperti ilmu perbintangan, ilmu pasti, perhitungan waktu, seni bangunan, seni rupa, dan lain-lain. Pola pendidikannya mengambil model asrama khusus, dengan fasilitas belajar seperti ruangan diskusi dan seminar.

Menjelang periode akhir, pola pendidikan tidak lagi dilakukan dalam kompleks yang bersifat kolosial, tetapi para guru di padepokan-padepokan dengan jumlah murid relatif terbatas dan bobot materi ajar yang bersifat spiritual religius. Para murid ini sembari belajar juga harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari.[2]

Sistem pendidikan Hindu Buddha dikenal dengan istilah karsyan. Karsyan adalah tempat yang diperuntukan bagi petapa dan untuk orang-orang yang mengundurkan diri dari keramaian dunia dengan tujuan mendekatkan diri dengan dewa tertinggi. Karsyan dibagi menjadi dua bentuk yaitu patapan dan mandala.

Patapan memiliki tempat bertapa, tempat dimana seseorang mengasingkan diri untuk sementara waktu hingga ia berhasil dalam menemukan petunjuk atau sesuatu yang ia cita-citakan. Ciri khasnya adalah tidak diperlukannya sebuah bangunan, seperti rumah atau pondokan. Bentuk patapan sederhana, seperti gua atau ceruk, batu-batu besar, ataupun pada bangunan yang bersifat artificial. Hal ini dikarenakan jumlah resi yang bertapa lebih sedikit atau terbatas. Tapa berarti menahan diri dari segala bentuk hawa nafsu, orang yang bertapa biasanya mendapat bimbingan khusus dari sang guru, dengan demikian bentuk patapan biasanya hanya cukup digunakan oleh seorang saja. 

Istilah kedua adalah mandala, atau disebut juga kedewaguruan. Berbeda dengan patapan, mandala merupakan tempat suci yang menjadi pusat segala kegiatan keagamaan, sebuah kawasan atau kompleks yang diperuntukan untuk para wiku/pendeta, murid, dan mungkin juga pengikutnya. Mereka hidup berkelompok dan membaktikan seluruh hidupnya untuk kepentingan agama dan negara. Mandala tersebut dipimpin oleh dewa guru.[3]

Masuknya Hindu Buddha juga mempengaruhi kehidupan masyarakat indonesia dalam bidang pendidikan. Sebab sebelumnya masayarakat Indonesia khususnya Jawa belum mengenal tulisan. Namun dengan masuknya Hindu Buddha, sebagian masyarakat Indonesia mulai mengenal budaya baca dan tulis. Diantara bukti-bukti tersebut adalah: 

# Digunakannya bahasa sansekerta dan huruf pallawa dalam kehidupan sehari-hari. Bahasa tersebut terutama digunakan di kalangan pendeta dan bangsawan kerajaan. Telah mulai digunakan bahasa kawi, jawa kuno, dan lain-lain. 

# Telah dikenal sistem pendidikan berasrama [ashram] dan didirikan sekolah-sekolah khusus untuk mempelajari agama Hindu Buddha. 

# Lahirnya banyak karya sastra bermutu tinggi yang merupakan interpretasi kisah-kisah dalam budaya Hindu Buddha. Seperti: Bharatayuda, Arjuna Wiwaha, Smaradhana, Negarakertagama, dan Sutasoma. 

# Berkembangnya ajaran budi pekerti berlandaskan ajaran agama Hindu Buddha. Pendidikan tersebut menekankan kasih sayang, kedamaian, dan sikap saling menghargai sesama manusia mulai dikenal dan diamalkan oleh sebagian masyarakat. [4]

Secara umum dapat disimpulkan bahwa, pengelola pendidikan adalah kaum Brahmana dari tingkat dasar sampai dengan tingkat tinggi, bersifat tidak formal, dimana murid dapat berpindah dari satu guru ke guru yang lain, kaum bangsawan biasanya mengundang guru untuk mengajar anak-anaknya di istana disamping ada juga yang mengutus anak-anaknya yang pergi belajar ke guru-guru tertentu, pendidikan kejuruan atau keterampilan dilakukan secara turun temurun melalui jalur kastanya masing-masing.[5]

2. Pendidikan Pada Masa Permulaan Islam

Pendidikan Islam di Indonesia pada masa awalnya bersifat informal, yakni melalui interaksi inter-personal yang berlangsung dalam berbagai kesempatan seperti aktivitas perdagangan, karena lalu lintas perdagangan laut internasional yang melewati wilayah nusantara sudah ramai. Dakwah Bil Hal atau keteladanan pada konteks ini mempunyai pengaruh besar dalam menarik perhatian dan minat seseorang untuk mengkaji atau memeluk ajaran Islam. Selanjutnya setelah agama ini berkembang di tiap-tiap desa yang penduduknya telah menjadi muslim umumnya didirikan langgar atau masjid. Fasilitas tersebut bukan hanya sebagai tempat shalat saja, melainkan juga tempat untuk belajar membaca al qur’an dan ilmu-ilmu keagamaan yang bersifat elementer lainnya. 

Metode pembelajarannya adalah seorang [murid secara perorangan atau bergantian belajar kepada guru] dan halaqah atau wetonan [guru mengajar sekelompok murid yang duduk mengitarinya secara kolektif atau bersama-sama]. Mereka yang berkeinginan melanjutkan pendidikannya setelah memperoleh bekal cukup dari langgar/ masjid di kampungnya, dapat masuk ke pondok pesantren. Secara tradisional, sebuah pesantren identik dengan kyai [guru/ pengasuh], santri [murid], masjid, pemondokan [asrama], dan kitab kuning [referensi atau diktat ajar]. Sistem pembelajaran relatif serupa dengan sistem di langgar atau masjid, hanya saja materinya kini kian berbobot dan beragam, seperti bahasa, dan sastra arab, tafsir, hadits, fiqih, ilmu kalam, tasawuf, tarikh, dan lainnya. 

Ketika era penjajahan dimulai, pendidikan islam tetap masih dapat berlangsung secara tradisional melalui para guru agama baik yang berbasis di langgar atau masjid maupun yang berada di pesantren-pesantren dan madrasah.

Secara umum, pendidikan Islam di masa pra kemerdekaan ini dapat diikhtisarkan mengambil bentuk sebagai berikut: pertama, langgar. Dikelola seorang amil, modin atau lebe yang berfungsi sebagai guru gama sekaligus pemimpin ritual keagamaan di masyarakat. Materi ajar bersifat elementer. Metode pembelajaran sorogan dan halaqah. Tidak ada biaya formal, seringkali hanya berupa in natura. Kedua, pesantren. Murid di asrama kan di pondok yang di bangun oleh seorang sang guru atau dengan biaya swadaya masyarakat setempat. Ketiga madrasah. Pola pendidikan teratur dan berjenjang. Guru menerima imbalan tunai secara tetap. Metode menjadi bersifat klasikal. Pengetahuan umum diajarkan di samping materi-materi ilmu agama.[6]

3. Pendidikan Masa Kolonial

Pendidikan selama penjajahan Belanda dapat dipetakan kedalam dua periode besar, yaitu pada masa VOC [Vereenide Oost-Indische Compagnie] dan masa pemerintahan Hindia Belanda [Nederlands Indie]. Pada masa VOC yang merupakan sebuah kongsi [perusahaan] dagang, kondisi pendidikan di Indonesia dapat dikatakan tidak lepas dari maksud dan kepentingan komersial. Berbeda dengan kondisi di negri Belanda sendiri dimana lembaga pendidikan dikelola secara bebas oleh organisasi-organisasi keagamaan, maka selama abad ke-17 hingga 18 M, bidang pendidikan di indonesia harus berada dalam pengawasan dan kontrol VOC.

Pada masa ini, wajah pendidikan Indonesia lebih terlihat sebagai sosok yang memperjuangkan hak pendidikan. Hal ini dikarenakan pada saat itu, sistem pendidikan yang diberlakukan oleh pemerintah kolonial adalah sistem pendidikan yang bersifat diskriminatif. Artinya hanya orang Belanda dan keturunannya saja yang boleh bersekolah, adapun pribumi yang dapat bersekolah merupakan pribumi yang berasal dari golongan priyayi. Adapun prakteknya sistem pendidikan pada masa kolonial lebih mengadopsi pendidikan Ala Eropa. 

Namun kemudian mulai timbul kesadaran dalam perjuangan untuk menyediakan pendidikan untuk semua kalangan, termasuk pribumi. Maka hadirlah berbagai institusi pendidikan yang lebih memikat rakyat, seperti misalnya taman siswa dan Muhammadiyah. 

Pada masa ini sistem Eropa dan tradisional [Pesantren] sama-sama berkembang. Bahkan bisa dikatakan, sistem ini mengadopsi sistem pendidikan seperti yang kita kenal sekarang: mengandalkan sistem pendidikan pada institusi formal semacam sekolah dan pesantren.

Menurut S. Nasution, pada dasarnya pendidikan masa kolonial Belanda itu memiliki ciri-ciri umum sebagai berikut. 

Pertama, gradualism yang luar biasa dalam penyediaan pendidikan anak-anak Hindu Belanda. Sistem ini sangat menguntungkan bagi Belanda yaitu berfungsi untuk menjaga agar anak-anak Belanda selalu lebih maju.

Kedua, dualisme dalam pendidikan dengan menekankan perbedaan yang tajam antar pendidikan belanda dan pendidikan pribumi. Sistem pendidikan terbagi ke dalam dua kategori yang jelas. Sekolah belanda dan sekolah pribumi, masing-masing dengan inspeksi, kurikulum, bahasa pengantar, dan pembiayaan tersendiri. 

Ketiga, kontrol sosial yang kuat. Sampai tahun 1918 segala msalah pendidikan diputuskan hanya oleh pegawai Belanda saja, tanpa konsultasi dengan masyarakat Hindia Belanda. Oleh karena itu, pendidikan dikontrol secara sentralistik, guru-guru dan orang tua tidak mempunyai pengaruh langsung dalam politik pendidikan. Segala soal mengenai sekolah, kurikulum, buku pelajaran, persyaratan guru, jumlah sekolah, jenis sekolah, pengangkatan guru ditentukan oleh pemerintah pusat. 

Keempat, keterbatasan tujuan sekolah pribumi dan peranan sekolah untuk menghasilkan pegawai sebagai faktor penting dalam perkembangan pendidikan. Didirikannya sekolah hanyalah dengan tujuan untuk mendidik anak-anak aristokrasi di jawa untuk menjadi pegawai perkebunan pemerintahan selam masa taman paksa. 

Kelima, adanya prinsip konkordinasi. Ini bertujuan untuk menjaga agar sekolah-sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah-sekolah di negri Belanda, dengan tujuan mempermudah perpindahan murid-murid dari Hindia Belanda ke sekolah-sekolah di negri Belanda. 

Keenam, tidak adanya perencanaan pendidikan yang sistematis untuk pendidikan anak pribumi.[7]

Secara umum sistem pendidikan pada masa VOC dapat digambarkan sebagai berikut:

1. Pendidikan Dasar, yaitu dibagi kedalam tiga kelas berdasar rengkingnya. Kelas satu diberi pelajaran membaca, menulis, agama, menyanyi, dan menghitung. Kelas dua mata pelajarannya tidak termasuk menghitung. Kelas tiga materi pelajarannya fokus pada alphabet dan mengeja kata-kata. 

2. Sekolah Latin, yaitu diawali dengan sistem numpang tinggal [in de kost] di rumah pendeta tahun 1642. mata pelajaran utamanya adalah bahsa latin. Tetapi akhirnya sekolah ini secara resmi di tutup pada tahun 1670. 

3. Seminarium Theologicum [sekolah seminar], yaitu sekolah untuk mendidik calon-calon pendeta, yang didirikan pertama kali oleh gubernur jendral Van Lmhoff tahun 1745 di Jakarta. Sekolah ini dibagi menjadi empat kelas secara berjenjang

4. Academie Der Marine [akademi pelayanan] 

5. Sekolah Cina

6. Pendidikan Islam, yaitu pendidikan untuk komunitas muslim relatif telah mapan melalui lembaga-lembaga yang secara tradisional telah berkembang dan mengakar sejak proses awal masuknya Islam ke Indonesia. VOC tidak ikut campur mengurusi atau mengaturnya. 

4. Pendidikan Pada Masa Walisongo

Interelasi Islam dan kebudayaan jawa di bidang pendidikan tidak lupa dari perjuangan Walisongo dalam mengislamkan tanah jawa dan perkembangan pendidikan pesantren di tanah Jawa. Secara historis, asal-usul pesantren tidak dapat di pisahkan dari sejarah pengaruh Walisongo abad 15-16. pesantren merupakan lembaga pendidikan yang unik di Indonesia. Lembaga pendidikan ini telah berkembang, khususnya di Jawa selama berabad-abad.

Pesantren adalah sebuah lembaga pendidikan keagamaan di jawa, tempat anak-anak muda bisa belajar dan memperoleh pengetahuan keagamaan yang tingkatnya lebih tinggi. Alasan pokok munculnya pesantren ini adalah untuk mentransmisikan Islam tradisional, karena disitulah anak-anak muda akan mengkaji lebih dalam kitab-kitab klasik berbahasa arab yang ditulis berabad-abad yang lalu. 

Ada ahli sejarah yang menganggap bahwa pesantren adalah lembaga pendidikan keagamaan yang merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan pra-Islam, yang disebut mandala. Mandala telah ada sejak sebelum majapahit dan berfungsi sebagai pusat pendidikan semacam sekolah dan keagamaan. Bangunan mandala dibangun di tas tanah perdikan yang memperoleh kebebasan sangat luas dari beban-beban penyerahan pajak, kerja rodi, dan campur tangan pihak kraton serta pemilik tanah yang tidak berkaitan dengan keagamaan. Mandala adalah tempat yang di anggap suci karena di situ tempat tinggal para pendeta atau par pertapa yang memberikan kehidupan yang patut di contoh masyarakat sekitar karena kesalehannya, dan laen-laen.

Pesantren dan mandala mempunyai persamaan-persamaan, diantaranya: 

1. Sama-sama memiliki lokasi jauh dari keramaian di pelosok yang kosong dan berada pada tanah perdikan atau desa yang telah memperoleh hak istimewa dari penguasa. Banyak pertapaan atau mandala di bagian timur jawa di masa Hindu yang dihuni para resi yang menjalankan latihan rohani sambil bertani. Persamaan itu ia contoh kan sebagaimana sunan kalijaga yang sering bersemedi dan melakukan tirakat di pertapaan mantingan yang sepi, yang hal itu juga dilakukan oleh para resi dalam tradisi pra-Islam.

2. Lembaga pendidikan keagamaan Hindu Buddha mandala dan lembaga pendidikan keagamaan Islam pesantren sama-sama memiliki tradisi ikatan guru murid. Guru adalah bapak bagi murid dan murid berbapak kepad gurunya. Ikatran guru murid ini merupakan ciri yang umum dalam kehidupan di mandala, yaitu murid yang jauh dari orang tuanya diserahkan pendidikannya kepada guru sebagai pengganti orang tua di lembaga pendidikan pra Islam. Hubungan guru murid juga menjadi ciri dalam pendidikan Islam, terutama karena perkembangan lembaga tarekat-tarekat yang berada di pesantren. 

3. Tradisi menjalin komunikasi antardharma, yang juga dilakukan anatara pesantren dengan perjalanan rohani atau lelana. Mengambil contoh perjalan hayam wuruk yang diiringi oleh rombongan keraton untuk mengunjungi satu pertapaan ke pertapaan yang lain. Tapi ini berbeda dengan pengembangan rohani dalam tradisi pesantren dengan tradisi agama Hindu Budha. Pengembaraan rohani tersebut sangat berkaitan dengan perjalanan ilmiah yang ingin dicapai dalam tradisi pesantren, yaitu untuk menambah ilmu. Perjalanan ilmiah atau yang sebut rihlah ilmiah memunculkan santri [berarti siswa atau murid sebuah pesantren][8] yang terus menerus ingin menambah ilmunya. 

4. Metode pengajarannya yang disebut halaqah [lingkaran]. Dalam halaqoh kiai biasanya duduk dekat tiang, sedangkan para murid duduk di depannya membentuk lingkaran. Dalam halaqoh biasanya murid yang lebih tinggi pengetahuannya akan duduk pada posisi yang lebih dekat dengan kiai dari pada murid yang lainnya.

Tokoh sejarawan lain yang menduga bahwa pesantren merupakan kelanjutan dari lembaga pendidikan keagamaan Hindu Budha mandala di tanah Jawa adalah pendapat Simanjuntak. Ia menyatakan bahwa pesantren sebagai lembaga pendidikan keagamaan Islam telah mengambil model dan tidak mengubah struktur organisasi dari lembaga pendidikan mandala pada masa Hindu. Pesantren hanya mengubah isi agama yang dipelajari, bahasa yang menjadi sarana bagi pemahaman pelajaran agama, dan latar belakang para santrinya.

Demikian pula Abdurrahman Mas’ud berpendapat bahwa pesantren sebagai institusi pendidikan Islam memiliki kesinambungan dengan lembaga pendidikan gurucula yang telah ada di masa pra Islam di Jawa. Pesantren memiliki akar budaya, ideologis, dan historis dari lembaga pendidikan Hindu Budha yang dilestarikan dengan memberikan modifikasi substansi yang bernuansa islami. [9]

Pendekatan pendidikan yang digunakan Walisongo diantaranya yaitu sebagai berikut: 

a. Modeling 

Yang perlu ditegaskan disini adalah bahwa modeling mengikuti seorang tokoh pemimpin merupakan bagian penting dalam filsafat jawa. Walisongo yang menjadi kiblat kaum santri tentu berkiblat pada guru besar dan pemimpin muslimin, nabi Muhammad SAW.

b. Substansi Bukan Kulit Luar

Ajaran al-Qur’an dan hadits pada dasarnya berkisar dengan hubungan tuhan dengan makhluk di bumi, dan tentang bagaimana agar makhluk selamat lahir batin, dunia akhirat. Dengan demikian, tujuan Walisongo adalah untuk menerangkan bagaimana menerapkan teori modalitas hubungan Allah dengan hambanya agar mudah ditangkap. Maka, ajaran tauhid adalah salah satu materi pokok yang disajikan sejak awal. Karena lebih mengutamakan pendekatan substantif, maka jika terlihat pendekatan Walisongo sering menggunakan elemen-elemen non Islam, sesungguhnya hal ini adalah alat untuk mencapai tujuan yang tidak mengurangi subtansi dan signifikansi ajaran yang diberikan.

c. Pendidikan Islam yang Tidak Diskriminatif

bahwa pendidikan Islam Walisongo ditujukan pada masa dapat dilihat pada rekayasa mereka terhadap pendirian pesantren. Pendidikan yang merakyat ini justru dijadikan akibat dalam dunia pendidikan pesantren dewasa ini. Pendekatan pendidikan Walisongo dewasa ini telah berkembang dalam tradisi pesantren seperti kesalehan sebagai cara hidup kaum santri, pemahaman, dan pengaripan terhadap budaya lokal, semua ini adalah bagian dari warisan Walisongo. 

d. Dengan pendekatan kasih sayang

bagi Walisongo, mendidik merupakan tugas dan panggilan agama. Mendidik murid sama halnya mendidik anak kandung sendiri. Pesan mereka dalam konteks ini adalah “sayangi, hormati, dan jagalah anak didik mu, hargai lah tingkah laku mereka sebagaimana engkau memperlakukan anak turunan mu. Beri mereka makanan dan pakaian hingga mereka dapat menjalankan syariat islam, dan memegang teguh ajaran agama tanpa keraguan. [10]

III. Kesimpulan

Dari rangkaian sejarah pendidikan yang panjang ini ada satu esensi yang bisa kita ambil yaitu seperti apapun bentuknya, keberhasilan pendidikan pada dasarnya tidak hanya tanggungjawab dari pengelola pendidikan saja tetapi juga menuntut peranan dari orang tua yang tidak kalah pentingnya. Sejarah akan terus berulang, pendidikan harus di mulai dan berawal dari keluarga. 

IV. Penutup

Dengan mengucap syukur puji Tuhan, penulis akhirnya dapat menyelesaikan penulisan makalah ini. Akhirnya, penulis berharap bahwa apa yang penulis paparkan dalam tulisan singkat ini dapat memberikan wacana baru dan menambah wawasan serta menjadikan diskursus dalam pemikiran hukum Islam menjadi lebih bervariatif. Tentunya, penelitian ini masih jauh dari sempurna, maka kritik dan saran yang membangun senantiasa penulis harapkan demi hasil yang lebih maksimal. Subhaanaka laa ilma lanaa illa maa allamtanaa. Innaka anta al aliim al hakiim. 


Daftar Pustaka

Zaini Muchtarom, Islam di Jawa Dalam Perspektif Santri dan Abangan, Jakarta: Salemba Diniyah, 2002.

Anasom, dkk, Merumuskan Kembali Interpelasi Islam Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2004.

Suwendi, M. Ag, Sejarah dan Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2004.

Anasom, dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gama Media, 2000.

H. Syamsul Nizar, Sejarah Pergolakan Pemikiran Pendidikan Islam: Potret Timur Tengah Era Awal dan Indonesia, Ciputat: PT. Ciputat Press Group, 2005.

2 Responses to "Sejarah Pendidikan di Jawa"

  1. terima kasih, postingan anda sangat membantu saya mengerjakan tugas, tenang saya pasti kasih sumber nya ko.. :D

    SEMANGAT INDONESIA!

    ReplyDelete
    Replies
    1. sama2... mksh udh bersedia meninggalkan jejak disini, semoga bermanfaat :D

      Delete

Silakan tinggalkan komentar anda. Kritik atau saran sangat saya harapkan untuk menjadikan lebih baik ke depannya. Komentar akan dimoderasi sebagai filter terhadap komentar-komentar yang tidak sesuai. Tabik!

Iklan Atas Artikel (WM2)

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel