Sejarah Arsitek Islam di Jawa
I. PENDAHULUAN
Islam adalah agama yang mengatur hubungan antara manusia dengan Allah dan manusia dengan sesamanya. Islam lahir dengan membawa ajarannya yang akan menciptakan kebaikan dan kedamaian. Dengan memperlihatkan ikhtiyar Islam untuk masuk di Jawa secara kultural, bukan dengan paksaan. Dengan berbagai media penyampaian, Islam berhasil menyebar segala penjuru. Ketika Islam masuk ke tanah Jawa, Islam muncul bersama nilai-nilai agama yang dapat diterima oleh Masyarakat.
Nilai-nilai Islam yang melekat pada kebudayaan Jawa memang seolah telah menjadi kesatuan yang sulit dipisahkan dalam berbagai bidang nilai Islam mampu memberikan pengaruhnya.
Dalam makalah ini sedikit banyak akan diuraikan bagaimana sejarah arsitektur dalam Islam seiring penyebaran Islam di tanah Jawa, banyak bangunan-bangunan yang mengandung nilai-nilai keislaman.
II. PEMBAHASAN
A. Pra sejarah arsitektur
Dapatlah kita lihat bangunan Indonesia pada zaman dahulu terbuat dari bahan yang tidak tahan lama. Para ahli arsitektur tidak beruntung karena bahan-bahan hayati ini tidak dapat bertahan lama dalam iklim Indonesia. Bangunan-bangunan kuno yang masih bertahan lama yaitu pada bangunan yang terbuat dari bangunan batu. Bangunan batu tertua di Indonesia dibangun pada akhir zaman prasejarah, lebih kurang 2.000 tahun yang lalu. Punden Berundak dari batu dan gentang lahan yang berkaitan untuk upacara dibangun pada lereng pegunungan. Punden Berundak ini digunakan pada periode klasik. Di beberapa wilayah nusantara, punden Berundak ini masih digunakan untuk kegiatan keagamaan.
Pada periode klasik Indonesia dimulai dengan berdirinya candi batu dan batu bata yang menaungi lambang dewa-dewa Hindu dan Budha. Contoh tertua, kerangka tahun awal abad ke-8 dirancang oleh arsitek Indonesia yang sudah terbiasa bekerja dengan bahan permanen. Menggunakan paduan ragam hias dan lambang pribumi dan asing. Mereka mengungkapkan kembali konsep prasejarah Indonesia mengenai hubungan antar manusia, dewa, dan alam semesta. Pemandangan alam, terutama pegunungan, merupakan perpaduan dalam pandangan alam semesta mereka.
Terdapat sedikit contoh bentuk arsitektur periode klasik selain candi. Contoh ini meliputi tempat pemandian dan reruntuhan yang mengundang pertanyaan dari gugus ratu Baka yang mungkin digunakan untuk beberapa maksud, sebagai tempat tinggal para bangsawan, tempat upacara umum dan terakhir tempat kegiatan keagamaan penganut Buda dan Hindu. Sisa bangunan dari Jawa Timur menunjukkan bahwa beberapa wilayah kediaman bangsawan abad ke-14 sebagian dibangun dari bata dan ubin. Sisa arsitektur periode klasik terpusat di Jawa, tetapi beberapa tempat di Sumatera, Bali dan Kalimantan menunjukkan data yang patut dipertimbangkan.
Selama periode klasik di Indonesia lebih kurang 800 tahun lamanya, bidang arsitektur berevolusi sebagai reaksi terhadap perubahan agama, politik, dan kecenderungan umum manusia dalam menginginkan perubahan gaya. Beberapa bangunan periode ini dianggap sebagai bagian dari warisan kebudayaan dunia.
Contoh arsitektur pada bangunan candi zaman klasik dapatlah kita lihat bahwa konsep dasar rancangannya adalah keinginan menciptakan tiruan gunung pada pusat alam semesta, tempat roh para dewa dapat dibujuk untuk menjelma menjadi patung atau lingga yang ditempatkan dalam ruangan yang menyerupai gua.
Arsitektur Indonesia klasik paling awal terdiri atas tempat suci Hindu, dibangun di gunung api Jawa Tengah secara raga dan perlambang, bangunan ini bersandar pada kepercayaan bahwa gunung merupakan tempat kekuatan adi kodrati. Setelah “elit” yang berkuasa mulai membangun dengan batu, tempat bangunan mulai menyebar ke daratan rendah perluasan ini mungkin berasal dari paduan semangat keinginan membuat tempat keagamaan lebih mudah dicapai Masyarakat umum dan pengakuan untuk “elite” yang berkuasa bahwa hubungan dengan kekuatan dewa secara nyata menambah kekuasaan duniawi mereka.
Dalam bangunan candi terdahulu ada pula yang menggunakan kayu sebagai penyangga luar, diantaranya dapatlah kita lihat pada arsitektur kayu Indonesia dari salah satu relief Borobudur (serambi pertama, sisi timur, sayap utara, lubang pengatur suhu diatas). Bangunan-bangunan ini memakai struktur penahan beban bagian luar dengan penyangga berbentuk seperti tiang berwujud manusia (canyatid) dalam bentuk satwa liar. Rancangan ini mirip dengan bangunan di India selatan (abad ke 4-9), tetapi saat arsitek Jawa membangun dengan batu, teknik para arsitek setempat mulai menyimpang dari model India. Sementara orang Jawa menggunakan bangunan pendukung dari luar, mereka mengabaikan penggunaan sosok satwa sebagai penyangga dan menggantikannya dengan tiang, tahap ini tampak pada relief-relief. Saat orang Jawa menggunakan batu sebagai bahan bangunan, bangunan penahan berat bagian luar menjadi berlebih, tiang dan penyangga diubah menjadi unsur hiasan dinding luar.
Bentuk bangunan arsitektur pada zaman prasejarah diantaranya yaitu bangunan-bangunan candi ; candi Borobudur, candi Rara Jonggrang, candi Merak, candi Sewu, candi Palosan, candi Kidal dan sebagainya. Candi-candi tersebut yang terbuat dari batu-batuan pada zaman klasik terdahulu.[1]
B. Sejarah Arsitektur dalam Islam
1. Arsitektur masjid
Dalam sejarah peradaban Islam, masjid dianggap sebagai cikal bakal arsitektur dalam Islam, yaitu dengan dibangunnya masjid Quba oleh Rasulullah SAW sebagai masjid yang pertama.
Awal mula bangunan masjid Quba sangatlah sederhana sekali, dengan lapangan terbuka sebagai intinya dan menempatkan mimbar pada sisi dinding arah kiblat, serta di tengah-tengah lapangan terdapat sumber air untuk tujuan bersuci. Masjid Quba ini merupakan karya spontan dari Masyarakat muslim di Madinah pada waktu itu.
Bangunan masjid Quba ini disebut oleh para ahli sebagai masjid Arab asli. Namun kiranya arti lebih luas adalah bahwa masjid Quba telah menampilkan makna dan fungsi minimal yang harus terpenuhi dalam sebuah bangunan masjid, yakni adanya tempat yang lapang untuk tempat berkumpul untuk melaksanakan ibadah. Sementara itu bangunan masjid yang lain tumbuh di berbagai wilayah Islam sejalan dengan perkembangan wilayah Islam. Bangunan masjid-masjid itupun mengalami penambahan menara, makam di sekitar masjid, maskura, hiasan kaligrafi, interior yang indah yang memperlihatkan perbedaan tampilan fisiknya. Hal tersebut seperti terlihat pada kubah masjid Jami’ di Buara dengan model setengah bola. Menara spiral di Samim, Minaret masjid sultan Kaitbey, interior masjid Ibnu Thoulun, termasuk bentuk atap bersirap pada bangunan masjid di Jawa.
Bentuk bangunan masjid dengan model atap tingkat tiga diterjemahkan sebagai lambang keislaman seseorang yang ditopang oleh 3 aspek, yaitu iman, Islam, dan ihsan. Adapun Norcholis masjid menafsirkannya sebagai lambang 3 jenjang perkembangan penghayatan keagamaan manusia, yaitu tingkat dasar permulaan, tingkat menengah, dan tingkat akhir yang maju dan tinggi yang sejajar dengan jenjang vertikal Islam, iman, dan ihsan.
Selain itu arsitektur masjid di Jawa biasanya disekitarnya juga terdapat bangunan makam. Biasanya makam yang terdapat di sekitar masjid adalah makam para tokoh Islam yang hidup di sekitar masjid tersebut. Di Jawa makam merupakan salah satu tempat yang dianggap sakral, bahkan sebagian cenderung dikeramatkan.[2]
2. Arsitektur ruang makam-masjid
Struktur ruang makam-masjid Kudus tidak memiliki hierarki yang sederhana. Kompleks ini dibangun dengan dinding keliling bata merah, seperti juga di Demak. Rancangan profil ini mirip dengan dinding kompleks candi-candi di Jawa Timur, candi penataran dan candi tikus. Setiap pintu masuk yang melalui dinding-dinding tersebut hampir selalu ditandai oleh bangunan gentar atau paduraksa. Tata ruang yang berlapis-lapis dan membentuk segi empat oleh dinding batu bata menunjukkan prosesi yang jelas memperlihatkan terhormatnya derajat wilayah makam. Di Kudus terdapat tidak kurang dari tujuh lapis gerbang dan halaman berdinding. Di Demak, dapat dijumpai pula tatanan ruang berlapis-lapis, namun tidak serumit makam sunan Kudus. Yang menarik di Demak adalah kejelasan struktur ruang yang dibentuk oleh tembok keliling segi empat dengan empat gerbang penjuru angin struktur yang jelas ini menyebabkan masjid nampak lebih menonjol monumentalisasinya. Sarean dikompleks masjid ini nampak sebagai struktur pendukung yang memiliki jalur prosesi sendiri yang membuat tata ruang berlapis-lapis adalah sarean utama yang dibangun dengan struktur cungkup. Struktur ini diyakini memberi perlindungan bagi makam sebagaimana atap melindungi tempat tidur. Orang Jawa melihat kuburan sebagai tempat yang disucikan dari kegiatan harian.
Lapisan ruang-ruang yang perlu dilalui dari prosesi ziarah ini dibuat sedemikian rupa sehingga memiliki kemiripan dengan prosesi menuju tempat tinggal raja yang bersangkutan. Secara tata ruang sarean dan dalem alias kelengahan sultan selintas tidak berbeda. Dasar dari struktur ruang yang mengembangkan pada makam-makam sunan Kudus, ratu Kalinyamat, hingga panembahan senapati menunjukkan gejala yang sama yaitu sinkretisme antara konsep candi Hindu, penghormatan leluhur asli jawa dengan fasilitas dan ritual Islam. Elemen-elemen pribumi nampak pada rancang bangun makam berundak yang mengingatkan pada punden Berundak. Elemen-elemen Hindu diungkapkan pada gubahan atap masjid maupun struktur ruang berdinding dengan paduraksa dan bentar. Semua terpadu untuk memberi tempat dimana kesucian badan disyaratkan dalam mengikuti proses ritual didalamnya.[3]
Namun dalam Islam sebenarnya terdapat tradisi penguburan jenazah yang didasarkan pada hadits Nabi seperti :
1. Kuburan lebih baik ditinggikan dari tanah sekitar agar mudah diketahui (HR. Baihaqi)
2. Membuat tanda kubur dengan batu atau benda lain pada bagian kepala (HR. Abu Daud)
3. Dilarang menembok kubur (HR. At Tarmidzi dan Muslim)
4. Dilarang membuat tulisan di atas kubur (HR. At Tarmidzi dan Muslim)
5. Dilarang membuat bangunan di atas kubur (HR. Ahmad dan Muslim)
6. Dilarang menjadikan kuburan sebagai masjid (HR. Bukhari Muslim)[4]
3. Arsitektur bangunan rumah
Dari asal-usulnya para ahli sejarah masih belum mempunyai kesatuan pendapat tentang hal ini. Sebagian riwayat telah menceritakan betapa sukarnya menentukan wujud atau bentuk rumah orang jawa pada mulanya. Ada yang mengatakan bahwa hal itu diceritakan dari mulut ke mulut (lesan), dari kakek ke cucu, cicit dst. Tapi ada pula yang mengatakan bahwa rumah orang Jawa pada mulanya dibuat dari bahan batu. Dari pendapat yang bermacam-macam itu dapat diambil kesimpulan, bahwa hal-hal tersebut masih gelap dan belum berhasil dipecahkan sampai sekarang.
Dalam riwayat lain dikatakan bahwa beberapa orang yang ahli telah membuktikan bahwa teknik penyusunan rumah jawa seperti teknik penyusunan batu-batu candi yang cukup banyak kita jumpai. Tetapi bukan rumah orang jawa yang meniru bentuk candi, melainkan bentuk candilah yang meniru rumah orang jawa. Karena candi yang kita saksikan sekarang ini baru berdiri pada abad ke-8 sedangkan sebelum agama Hindu dan Budha datang ke sini, nenek moyang kita pasti telah mempunyai tempat tinggal yang cukup permanen untuk melindungi diri dan keluarganya.[5]
Salah satu contoh tata ruang rumah tradisional kudus yang mempunyai keistimewaan dengan adanya ukuran yang menghiasi hampir di setiap bagian bangunan ruangan di ruang ukir kudus terbagi menjadi 3 yaitu :
1. Jago satru à bagian ruang depan untuk menerima tamu
2. Godongan à untuk menyimpan harta kekayaan
3. Pawon à ruangan untuk tempat kegiatan sehari-hari bagi keluarga[6]
4. Arsitektur dalam tata ruang kota
Arsitektur Islam tetap menaruh kepercayaan pada bahan-bahan bangunan sederhana dan mempergunakan kekuatan-kekuatan elemental alam seperti cahaya dan angin untuk sumber-sumber energinya. Ia membawa alam ke dalam kota dengan mewujudkan kembali kelembutan, keselarasan dan ketenteraman alam di dalam halaman-halaman luas masjid dan rumah.[7]
Sebagai sebuah karya seni, maka kemampuan para arsitek muslim Jawa dalam mengakomodasi dua unsur kebudayaan tidak hanya dalam bentuk masjid dan rumah, tetapi telah pula merambah pada lingkup yang lebih luas, yakni pada tata ruang sebuah wilayah atau penataan kota. Sejak Islam memiliki sebuah wilayah, maka sebenarnya sejak itu umat Islam telah mulai memiliki kemapuan dalam menata wilayahnya. Sama halnya ketika umat Islam memiliki wilayah di jawa ini, maka mereka pun mulai menata kota dengan perangkat bangunan yang menjadi kepentingannya.
Sebagai sebuah kerajaan Islam jawa, Mataram yang merupakan kelanjutan dari penguasa kerajaan sebelumnya (Hindu Majapahit) memiliki tata bangunan kota yang sangat dipengaruhi oleh nilai lokal yang telah ada, dan tata nilai baru yang dibawa oleh Islam.
Oleh karenanya tata ruang kota di Jawa pasca kerajaan Hindu jawa menggunakan konsep tata ruang yang berlandaskan pada filosofi jawa yang muatan isinya memakai konsep Islam. Hal ini terlihat dengan penggunaan konsep mancapat dalam tata ruang desa-desa di jawa, tetapi unsur-unsur macapatnya dengan nilai ajaran Islam yaitu dengan menempatkan keraton, masjid, pasar dan penjara dalam satu komunitas bangunan yang berpusat pada alun-alun. Penataan kota semacam ini sampai sekarang masih terus dapat disaksikan, dimana hampir setiap kota di Jawa yang dibangun pada masa kerajaan Islam, pusat pemerintahannya senantiasa berada dipusat kota yang terdapat alun-alun didepannya, masjid di sebelah baratnya, penjara dan pasar disekitarnya.
Kecuali itu ciri khas jalan-jalan yang membelah dari pusat alun-alun dan perkampungan yang dihuni oleh komunitas orang santri yang disebut kauman telah menjadi ciri khas tata kota di jawa. Bentuk arsitektur tata kota yang lain dapat kita lihat pada bangunan tamansari dan hiasan-hiasan pada keraton seperti pada bangunan keraton yogya yang memiliki hiasan kaligrafi atau huruf-huruf Arab, gapura, masjid dan benteng.[8]
III. PENUTUP
Demikianlah makalah ini kami buat semoga bermanfaat bagi pembacaan umumnya dan bagi penulis khususnya, saya sadar dalam pembuatan makalah ini masih banyak kekurangan, maka dari itu kami mengharapkan saran dan kritik dari pembaca yang bersifat membangun, sekian dari kami kurang lebihnya mohon maaf, dan saya ucapkan banyak terima kasih atas perhatiannya.
DAFTAR PUSTAKA
1. Islam dan Kebudayaan Jawa, H. Abdul Jamil dkk, Gama Media. 2000
2. Agoes Aris Munandar-Jurusan Arkeologi, Universitas Indonesia . “Arsitektur”. Buku Antar Bangsa. 2002
3. A. Bagoes P. Wiryomartono. Seni Bangunan dan Seni Binakota di Indonesia . Gramamedia. Jakarta. 10270
4. R. Ismunandar K.Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa
5. Hasil penelitian dari Musium Ronggowarsito Jateng
6. Seyyed Hossein Nas, Islam Tradisi di tengah kancah dunia modern, Bandung : Penerbit Pustaka, 1994.
[1] Agoes Aris Munandar, Jurusan Arsitektur Universitas Indonesia “Arsitektur”, Buku Antar Bangsa, 2002, hal. 51-54
[2] H. Abdul Jamil dkk,Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, Yogyakarta, 2000, hal. 186-190
[3] A. Bagoes P. Wiryomartono, Seni Bangunan dan Seni Binakuta di Indonesia , Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 10270, hal. 37-40
[4] Ibid.,hal. 195
[5] R. Ismunandar K, Joglo Arsitektur Rumah Tradisional Jawa, hal. 3
[6] Hasil penelitian dari Musium Ronggowarsito Jateng
[7] Seyyed Hossein Nas, Islam Tradisi di tengah kancah dunia modern, Bandung : Penerbit Pustaka, 1994, hlm. 236
[8] H. Abdul Jamil dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, Gama Media, 2000, hal. 196-198
0 Response to "Sejarah Arsitek Islam di Jawa"
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar anda. Kritik atau saran sangat saya harapkan untuk menjadikan lebih baik ke depannya. Komentar akan dimoderasi sebagai filter terhadap komentar-komentar yang tidak sesuai. Tabik!