Interelasi Nilai Jawa dan Islam Dalam Pewayangan
I. Pendahuluan
Interelasi nilai Jawa dan Islam dalam aspek wayang merupakan salah satu bagian yang khas dari proses perkembangan budaya di Jawa. Pengertian budaya menurut Ki Narto Sabdo adalah angen-angen kang ambabar keindahan. Wayang merupakan suatu produk budaya manusia yang di dalamnya terkandung seni estatis. Wayang berfungsisebagai tontonan dan berfungsi sebagai tuntunan kehidupan, sedangkan pengertian Jawa yang dimaksud adalah pulau yang terbentang antara kepulauan Nusantara yang konon banyak menghasilkan juwawut (padi-padian) dari pulau yang disebut-sebut sebagai pulau penghasil juwawut itulah kemudian terkenal dengan pulau Jawa.
Bicara tentang esensi budaya Jawa dapat dirumuskan dalam satu kata wayang. Hal ini seolah-olah sudah menjadi dalil bagi para pakar budaya Jawa mempelajari dan memahami wayang merupakan syarat yang tan ora keno ora atau candotio sine quanan untukmenyelami budaya Jawa. Baik atas Jawa maupun pandangan hidup Jawa, tergambarkan dan terjalin dengan baik dalam wayang.
II. Rumusan masalah
A. Asal usul wayang
B. Jenis-Jenis wayang
C. Pewayangan Jawa
D. Wayang dan Islam
III. Pembahasan
A. Asal-usul wayang
Wayang berasal dari kata wewayangan atau wayangan, yang berarti bayangan. Arti harfiah dari pertujukan wayang adalah berarti bayangan-bayanga. Arti filsafat yang lebih dalam adalah bayangan kehidupan manusia, atau angan-angan manusia tentang kehiduapan manusia masa lalu.
Penulisan yang lengkap tentang asal-usul wayang adalah disertasi Hazeu berjudul Bijdrage tot de kennis van het javaansche toneel. Disertasi akademik ini dipertahankan di universitas Leiden pada tanggal 30 Januari 1897. dalam disertasi ini telah dikomparasikan beberapa pendapat para sarjana tentang asal-usul wayang. Hazeu mengambil pendapat dari Crawfurt, bahwa orang jawa pada masa pra sejarah telah menemukan drama Polynesia, termasuk oleh Raden Panji Inu Kerta Pati pada abad XII, sebuah ciptaan yang muncul pada kejayaan agama hidu. Menurut pendapat Vert, adanya suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri bahwa kesenian wayang dan gamelan asal jelas terdapat pengaruh dan bantuan hindu. Menurut pendapat Nieman bahwa orang hindu mempunyai jenis pertunjukan (teater) yang sama sekali berbeda dengan pertunjukan wayang. Pada hakekatnya teater India berbeda dari teater jawa. Istilah teknis pada pertunjukan wayang adalah khas jawa bukan sansekerta. Jadi wayang asal usulnya tidak mungkin dari India.
Dalam disertasinya Hazeu memberikan suatu kesimpulan bahwa untuk mengetahui asal-usul wayang, haruslah dianalisis dari sarana pentasnya bukan dari karya kecir, kotak, keprak, ilalang dan lainnya semua istilah asli jawa, bukan istilah asing atau India. Hazeu menarik kesimpulan bahwa asal-usul wayang adalah asli jawa, tentang pengaruh dari budaya asing sesudah masa itu tentunya pasti ada. Pengaruh ini akan membuat wayang semakin berkembang di masa selanjutnya.
Menurut Ir Sri Mulyono pada masa dua ribu tahun sebelum masehi, nenek moyang orang Jawa tealah mengenal budaya melayu-polynesia. Salah satu bagian kebudayaan ini adalah petunjukan bayang-bayang. Pertunjukan ini berisi Shamanisme kan berfungsi sebagai pemujaan Hyang. Dalam kurun waktu yang cukup lama dan secara evolusi pertunjukan ini berubah bentuk menjadi pertunjukan wayang kulit yang masih sederhana. Berulah kira-kira 600 tahun sebelum masehi mulai berkembang agama Hindu di Indonesia. Wayang kulit yang belum mencapai bentuknya terpengaruh dan digunakan oleh kepentingan agama Hindu dan Budha sebagai pertunjukan yang bersifat ritual, magis relegius dan pendidikan moral. Pertunjukan wayang kulit dari masa prahindu yang masih lestari fungsinya adalah pertunjukan wayang kulit untuk upacara rawatan upacara-upacara penyembelihan roh nenek moyang di masa sekarang diketahui dari beberapa fungsi ritual wayang kulit yang masih sering diselenggarakan adalah pertunjukan upacara bersih desa dan ruwetan.
Kembali tentang asal-usul wayang kecuali untuk kepentingan penelitian ilmiah, sebenarnya kita tidak perlu terlalu mempersoalkan apakah wayang itu asli ciptaan orang jawa ataukah contekan dari kebudayaan lain. Yang penting sekarang adalah bagaimana kita memanfaatkan dan membina serta mengembangkan kekayaan budaya jawa ini unukt memenuhi kebutuhan masyarakat bukan hanya jawa tetapi Indonesia bahkan dunia, bagai mana kita mengembangkan wayang ini untuk umat manusia untuk memayu hayuning bawana.
B. Jenis-Jenis wayang
Di Indonesia terdapat puluhan jenis wayang yang tersebar di pulau-pulau jawa, bali, lombok, Kalimantan, Sumatra dan lain-lainnya, Baik yang masih populer maupun yang hampir atau sudah punah dan hanya dikenal dalam kepustakaan atau dimusiumkan, menjelang akhir abad yang lalu seseorang Belanda yang menjadi Direktor Museum Etnografi di Leiden, yaitu Prof Dr. L Serrurior mengadakan peneliitan angket tentang jenis-jenis wayang di pulau jawa, dan hasil penelitian itu diterbitkan berupa buku yang berjudul De Wajang Poerwa. Dalam buku itu disebut jenis-jenis wayang yang pada masa itu dikenal di pulau jawa, yaitu wayang beber, wayang gedog, wayang golek, wayang jumbling, wayang (Kelithik) wayang Keruai (kruai) wangan Langendria, wayang Pegon, wayang Porwo, wayang Puwara, wayang Sasak, wayang Topeng dan wayang Wong atau Wayang Orang.
Dari semua jenis wayang itu yang paling terkenal, tersebar luas dan diketahui sejarah perkembangannya adalah wayang purwa, yaitu jenis pertunjukan wayang kulit, dengan lakon-lakon yang mula-mula bersumber pada cerita-cerita kepahlawanan India yaitu Ramayana dan mahabarata meskipun jenis pertunjukan ini berasal dari jawa dan telah terkenal di jawa Timur pada masa pemerintahan Raja Airlangga dalam abad 11.
C. Pewayangan Jawa
Kitab Mahabrata Sansekerta yang digubah sekitar 600-700 Th SM merupakan sumber utama dan pengiring bagi timbulnya kesastraan Jawa kuno berkembang dari kitab induk ini seperti Adiparwa wirataparwa, bisparwa dan lainnya yang oleh Zoetmulder disebut sebagai kelompok sastra parwa.
Sebagai fenomena budaya wayang merupakan sinkretisme dan mozaikisme dari berbagai budaya yang mempengaruhinya. Hal itu menunjukkan bahwa budaya yang mempengaruhinya hal itu menunjukkan bahwa budaya pewayangan bersifat pluralistik dan eklektik, sebagai akibat budaya jawa yang terbuka dan bertoleransi terhadap berbagai budaya lain. Pada zaman pra sejarah nenek moyang animisme dan dinamisme mereka percaya kepada adanya kekuatan roh itu dipuja untuk dimintai restu atau pertolongan dalam sebuah upacara megis religius.
Pemujaan itu dilakukan dalam bentuk “pentas bayangan” yang dilakukan di malam hari oleh seorang sakti yang disebut Syahm, karena pada malam hari itulah roh-roh mengembara. Pentas bayangan ini kemudian menjadi pertunjukan wayang yang dilakukan oleh dalang.
Sumber acuan bagi para dalang di Jawa tentu saja bukan kitab mahabrata seansekerta, tetapi karya yang mutakhir seperti pustaka raja karya Rangga Warsito, Serat Baratha Yuda karya Yasadipura dan sebagainya. Ada juga karya lain seperti Serat Kanaha yang mencampuradukkan silsilah nabi sejak nabi Adam dengan silsilah tokoh wayang, termasuk para dewa dan punakawan. Bahkan dalam Serat Manikmaya yang jelas-jelas merupakan refliksi dari proses pertemuan berbagai tata nilai yang berlangsung selama beberapar waktu seperti Islam, Hindu dan budaya Jawa yang asli.pertunjukan wayang yang jalan ceritanya banyak diubah dari kitab asalinya, yaitu kitab mahabrata, semuanya mempunyai tujuan utama yaitu memberi petunjuk kepada manusia ke jalan yang benardan baik, kejalan yang di kehendaki oleh Tuhan yang maha Esa untuk memacu cipta rasa dan karsa manusia agar tergugah untuk ituk memperindah bebrayan agung, untuk itut mehayu hayuning bawaan. Dengan demikian peertunjukan wayang tidak hanya sebagai tontonan dan alat penghibur, tetapi juga memuat tuntunan kehidupan manusia.
Memberikan wayang tak ubahnya membicarakan falsafat Jawa karena wayang adalah sebagai simbol Filsafat Jawa. Menurut dunia pewayangan hidup harus senantiasa berdasarkan kebenaran dan kebenaran sejati hanya dapat diperoleh dari Sang Hyang Tunggal (Tuhan). Untuk mencapai kebenaran sejati harus memiliki ilmu-ilmu sejati, untuk mendapatkan ilmu-ilmu sejadi harus mendaparkan kenyataan sejati dan selanjutnya manusia harus tahu tentang apa sejatining urip.
D. Wayang dan Islam
Prof. K. MZ. Machfoel pernah menguraikan tentang makna punakawan, yakni Semar, Nala Rareng, Petruk dan Bagong ke 4 (empat) figur nama-namanya sama sekali tidak terdapat dalam epos Hindu Ramayana dan Mahabrata sebagai sumber cerita pewayangan aslinya. Munculnya figur punakawan tersebut merupakan hasil Wali sanget tiniton untuk memperagakan serta mengabadikan fungsi wathak, tugas konsepsional Walisongo dan para mubaligh islam menurut pendapatnya nama Semar, Nala Gareng Petrok dan Bagong bukan merupakan sebutan bahasa Jawa kuno, tetapi berasal dari bahasa arah sebagaimana nama:
- Semar dari Ismar
- Nala Gareng dari Naala Qarun
- Petruk dari Fatruk
- Bagong dari Baghao
Kata Islam oleh lidah Jawa diucapkan Semar dari kebiasaan “is” beruban menjadi “se” contohnya Istanbul menjadi setambul. Ismar adalah paku, berfungsi sebagai pengokoh yang goyah. Ibarat ajaran Islam didakwahkan para Walisongo diseluruh kerajaan Majapahit, yang pada waktu itu sedang ada pergolakan dengan berakhirnya didirikan kerajaan Demak oleh Rakden Patah. Hal senada sesuai dengan hadits al-Islamu Ismaruddunya yang berarti Islam adalah pengokoh (paku pengokoh) keselamatan dunia. Nala Qoriin oleh pengucapnya lidah Jawa menjadi Nala Gareng yang berarti memperoleh banyak teman dan tugas konsepsional para Walisongo sebagai juru dakwah (da’i) ialah untuk memperoleh sebanyak-banyaknya kawan untuk kembali kejalan Tuhan dengan sikap arif dan harapan yang baik.
Fatruk oleh pengucapan lidah Jawa menjadi Petruk. Kata tersebut merupakan kata pangkal kalimat pendek dari sebuah wejangan tasawuf tinggi yang berbunyi Fat-ruk kaila maa siwallahi, yang artinya tinggalkan semua apapun yang selain Allah wejangan tersebut kemudian menjadi watak pribumi para Wali dan mubaligh pada waktu itu.baghoa oleh pengucapan lidah Jawa menjadi Bagong yang berarti berontak yaitu berontak terhadap kebatilan atau kemungkaran suaru tindakan anti kesalahan. Dalam kata bago’ (arab) yang berarti kekal langgeng artinya semua makhluk nantinya di akhirat mengalami hidup kekal. Ditinjau dari makna serta isi nilai wayang jelas bahwa punakawan adalah bentuk lambang visualisasi dari ide masyarakat Jawa. Masyarakat pemggemar wayang mengerti bahwa manusia sebetulnya memerlukan pemomong dalam peejalanan hidup.
Bukan kekuatan manusia yang menyelamatkan dan mendekatkan diri pada Tuahn, melainkan bimbingan yang pada akhirnya berasal dari Tuhan juga. Manusia harus menyadari bahwa masing-masing dirinya lemah dan memerlukan perlindungan. Tanpa bimbingan Tuahan manusia akan tersesat.
IV. Kesimpulan
wayang sebagai titik temu nilai budaya Jawa dan Islam adalah suatu momentum yang sangat berharga bagi perkembangan khasanah budaya Jawa kini masyarakat Indonesia telah memasuki era reformasi yang mengedepankan pentingnya arti demokrasi dan keadilan-keadailan yang kini ditunggu realisadinya sedemikian rupa sehingga kata adil dirangkai dengan ambeg parama arta. Sunan Kalijaga sebagai salah satu sosok Walisongo mendambakan kehadiran sosok ratu adil. Yaitu Prabu Yudistira yang kemusian bernama Prabu Darma Kusuma. Seorang raja tanpa mahkota yang dikenal memakai udeg dengan maksud agar mudeng mengerti bahwa didalamnya tersimpan Jimat Kalimasodo. Kalimat syahadat merupakan kalimat persaksian yang semula dijadikan jimat (siji dirmat) kekuatan spiritual yang kemudian ditradisikan dalam sekatenan. Kalimat yakni shahadat tauhid dan syahadat rosul dan kemudian ditradisikan dan disosialisasikan dalam kegiatan grebek maulud atau grebeg sekatenan yang diselenggarakan mulai tanggal 1 sampai dengan 12 maulud setiap tahunya.
V. Penutup
Demikianlah makalah yang dapat penulis susun tentunya makalah ini masih jauh dari kesempurnaan. Kritik dan saran yang membangun sangatlah diharapkan penulis untuk memperbaiki makalah ini. Penulis uga minta maaf apabila ada penulisan atau ulasan yang salah atau kurang. Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua. Amiin.
Daftar pustaka
- Suharyo Bagyo, Wayang beber Wonosari, Wonogiri , Bima Citra Pustaka. 2005
- Guritno Pandam, IWayang Kebudayaan Indonesia dan Pancasila,Universitas Indonesia, 1988.
- Suarto, IIslam Keragaman Jawa, Gama Media. 2002
- Sujamto,wayang dan budaya jawa,Semarang,Dahara Prize,1992.
- Nurgiyantoro Burhan, Transformasi Unsur Pewayangan Yogyakarta, Gadjah Mada University Pres, 1998.
0 Response to "Interelasi Nilai Jawa dan Islam Dalam Pewayangan"
Post a Comment
Silakan tinggalkan komentar anda. Kritik atau saran sangat saya harapkan untuk menjadikan lebih baik ke depannya. Komentar akan dimoderasi sebagai filter terhadap komentar-komentar yang tidak sesuai. Tabik!