-->

WM1

Sejarah Masuknya Islam Di Jawa dan Pengaruhnya



I. Pendahuluan
Kalau dipertanyakan apa yang menjadi ciri khas kebudayaan Jawa, jawabannya barangkali dapat berbunyi, bahwa ciri khasnya terletak dalam kemampuan luar biasa kebudayaan Jawa untuk membiarkan diri dibanjiri oleh gelombang-gelombang kebudayaan yang datang dari luar dan dalam banjir itu mempertahankan keasliannya. Kebudayaan Jawa justru tidak menemukan diri dan berkembang kekhasannya dalam isolasi, melainkan dalam pencernaan masukan-masukan kultural dari luar. Hindhuisme dan Budhisme dirangkul, tetapi akhirnya dijawakan. Agama Islam masuk ke Pulau Jawa, tetapi kebudayaan Jawa hanya semakin menemukan identitasnya.[1]

Fakta sejarah membuktikan bahwa kebudayaan Jawa mampu berkolaborasi indah dengan Islam, lepas dari pengaruh Hinduisme dan Budhisme yang telah ada lebih dulu daripada kedatangan Islam. Bahkan negeri yang sudah didatangi Islam seperti Mesir, Siria, Palestina, dan Persia sudah lama mengenal ajaran filsafat Yunani. Ajaran Hindu, Budha, Majusi, Kristen telah lama dikenal di sekitar Jazirah Arab (Simuh, 1995:69). Hal tersebut berarti islam yang tersebar senantiasa mengalami penyesuain dengan lingkungan peradaban dan kebudayaan setempat.[2] Begitu pula yang terjadi di Indonesia atau Nusantara. Islam dan kebudayaan Jawa mampu untuk saling menyesuaikan dengan apik.

Menjelaskan tentang masuknya Islam ke Nusantara tidak terlepas dari sejarah awal masuknya, siapa yang membawa islam ke Nusantara dan pengaruh islam dalam kebudayaan Jawa. Secara singkat dan sistematis dalam makalah ini akan dijelaskan.

II. Rumusan Masalah
Dalam makalah ini akan dibahas serta dibatasi hanya pada pembahasan:

1. Sejarah Masuknya Islam
2. Alur Penyebaran Islam di Jawa
3. Pengaruh Islam di Jawa

III. Pembahasan
1. Sejarah Masuknya Islam, dan beberapa teorinya
Islam merupakan unsur penting pembentuk jati diri orang Jawa. Ajaran dan kebudayaan Islam mengalir sangat deras dari Arab dan Timur Tengah sehingga memberi warna yang sangat kental terhadap budaya Jawa. Agama Islam disebarkan oleh Nabi Muhammad saw pada mulanya hanya terbatas, yaitu keluarga dan sahabat terdekat.

Dalam waktu yang relatif singkat islam berkembang dengan sangat pesat. Sepeninggal Nabi Muhammad saw, agama Islam disiarkan oleh empat sahabat yang terkenal dengan gelar Khulafaur Rasyidin, yaitu Abu Bakar, Umar,Usman dan Ali. Islam kemudian menyebar kedaerah-daerah luar Jazirah Arab. Maka segera bertemu dengan berbagai peradaban dan budaya lokal yang sudah mengakar selama berabad-abad. [3]

Menyangkut kedatangan Islam di Nusantara, termasuk Jawa para ahli selalu terlibat diskusi panjang dan melelahkan mengenai tiga masalah pokok tempat asal kedatangan Islam, para pembawanya dan waktu kedatangannya. Hingga kini teori dan pembahasan yang berusaha menjawab ketiga masalah pokok ini terasa belum tuntas dan jauh dari memadai. Ada tiga teori disini yaitu:

1. Teori pertama diusung oleh Snouck Hurgronje mengatakan, Islam masuk ke Indonesia dari wilayah-wilayah di anak benua India. Tempat-tempat seperti Gujarat, Bengali dan Malabar disebut sebagai asal masuknya Islam ke Nusantara. Dalam L’arabie et les Indes Nerlandaises, Snouck mengatakan teori tersebut didasarkan pada pengamatan tidak terlihatnya peran dan nilai-nilai Arab yang ada dalam Islam pada masa-masa awal yakni pada abad ke-12 atau 13. Snouck juga mengatakan, teorinya didukung dengan hubunga yang telah terjalin lama antara wilayah Nusantara dengan daratan India.

Sebetulnya, teori ini dimunculkan pertama kali oleh Pijnappel, seorang sarjana dari Universitas Leiden. Namun nama Snouck Hurgronce yang paling besar memasarkan teori Gujarat ini. Salah satu alasannya adalah karena Snouck dipandang sebagai sosok yang mendalami Islam Teori ini diikuti dan oleh banyak sarjana Barat lainnya.

2. Teori kedua, adalah Teori Persia. Tanah Persia disebut-sebut sebagai tempat awal Islam datang ke Nusantara. Teori ini berdasarkan kesamaan budaya yang dimiliki oleh beberapa kelompok masyarakat islam dengan penduduk Persia. Misalnya saja tentang peringatan 10 Muharam yang dijadikan sebagai hari peringatan wafatnya Hasan dan Husein, cucu Rasulullah. Selain itu, di beberapa tempat di Sumatera Barat ada pula tradisi Tabut, yang berarti keranda, juga untuk memperingati Hasan dan Husein. Ada pula pendukung lain dari teori ini yakni beberapa serapan bahasa yang diyakini datang dari Iran. Misalnya jabar dari zabar, jer dari ze-er dan beberapa yang lainnya.

Teori ini menyakini Islam masuk ke wilayah Nusantara pada abad ke-13. Dan wilayah pertama yang dijamah adalah Samudera Pasai. Kedua teori di atas mendatang kritikan yang cukup signifikan dari teori ketiga yaitu,

3. Teori Arabia. Dalam teori ini disebutkan, bahwa Islam yang masuk ke Indonesia datang langsung dari Makkah atau Madinah. Waktu kedatangannya pun bukan pada abad ke-12 atau 13, melainkan pada awal abad ke-7. Artinya, menurut teori ini, Islam masuk ke Indonesia pada awal abad hijriah, bahkan pada masa khulafaur rasyidin memerintah. Islam sudah mulai ekspidesinya ke Nusantara ketika sahabat Abu Bakar, Umar bin Khattab, Utsman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memegagang kendali amirul mukminin.

Bahkan sumber-sumber literatur Cina menyebutkan, menjelang seperempat abad ke-7, sudah berdiri perkampungan Arab Muslim di pesisir pantai Sumatera. Di perkampungan-perkampungan ini diberitakan, orang-orang Arab bermukim dan menikah dengan penduduk lokal dan membentuk komunitas-komunitas Muslim.
Dalam kitab sejarah Cina yang berjudul Chiu T’hang Shu disebutkan pernah mendapat kunjungan diplomatik dari orang-o-rang Ta Shih, sebutan untuk orang Arab, pada tahun tahun 651 Masehi atau 31 Hijirah. Empat tahun kemudian, dinasti yang sama kedatangan duta yang dikirim oleh Tan mi mo ni’. Tan mi mo ni’ adalah sebutan untuk Amirul Mukminin.

Dalam catatan tersebut, duta Tan mi mo ni’ menyebutkan bahwa mereka telah mendirikan Daulah Islamiyah dan sudah tiga kali berganti kepemimpinan. Artinya, duta Muslim tersebut datang pada masa kepemimpinan Utsman bin Affan. Biasanya, para pengembara Arab ini tak hanya berlayar sampai di Cina saja, tapi juga terus menjelajah sampai di Timur Jauh, termasuk Indonesia. Jauh sebelum penjelajah dari Eropa punya kemampuan mengarungi dunia, terlebih dulu pelayar-pelayar dari Arab dan Timur Tengah sudah mampu melayari rute dunia dengan intensitas yang cukup padat. Ini adalah rute pelayaran paling panjang yang pernah ada sebelum abad 16.

Hal ini juga bisa dilacak dari catatan para peziarah Budha Cina yang kerap kali menumpang kapal-kapal ekspedisi milik orang-orang Arab sejak menjelang abad ke-7 untuk pergi ke India. Bahkan pada era yang lebih belakangan, pengembara Arab yang masyhur, Ibnu Bathutah mencatat perjalanannya ke beberapa wilayah Nusantara. Tapi sayangnya, tak dijelaskan dalam catatan Ibnu Bathutah daerah-daerah mana saja yang pernah ia kunjungi.
Kian tahun, kian bertambah duta-duta dari Timur Tengah yang datang ke wilayah Nusantara.

Pada masa Dinasti Umayyah, ada sebanyak 17 duta Muslim yang datang ke Cina. Pada Dinasti Abbasiyah dikirim 18 duta ke negeri Cina. Bahkan pada pertengahan abad ke-7 sudah berdiri beberapa perkampungan Muslim di Kanfu atau Kanton. Tentu saja, tak hanya ke negeri Cina perjalanan dilakukan. Beberapa catatan menyebutkan duta-duta Muslim juga mengunjungi Zabaj atau Sribuza atau yang lebih kita kenal dengan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini sangat bisa diterima karena zaman itu adalah masa-masa keemasan Kerajaan Sriwijaya. Tidak ada satu ekspedisi yang akan menuju ke Cina tanpa melawat terlebih dulu ke Sriwijaya.

Sebuah literatur kuno Arab yang berjudul Aja’ib al Hind yang ditulis oleh Buzurg bin Shahriyar al Ramhurmuzi pada tahun 1000 memberikan gambaran bahwa ada perkampungan-perkampungan Muslim yang terbangun di wilayah Kerajaan Sriwijaya. Hubungan Sriwijaya dengan kekhalifahan Islam di Timur Tengah terus berlanjut hingga di masa khalifah Umar bin Abdul Azis. Ibn Abd Al Rabbih dalam karyanya Al Iqd al Farid yang dikutip oleh Azyumardi Azra dalam bukunya Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad XVII dan XVIII menyebutkan ada proses korespondensi yang berlangsung antara raja Sriwijaya kala itu Sri Indravarman dengan khalifah yang terkenal adil tersebut.

“Saya ingin Anda mengirimkan kepada saya seseorang yang dapat mengajarkan Islam kepada saya dan menjelaskan kepada saya tentang hukum-hukumnya,” demikian kurang lebihnya bunyi surat Raja Sriwijaya Sri Indravarman kepada Khalifah Umar bin Abdul Azis. Diperkirakan hubungan diplomatik antara kedua pemimpin wilayah ini berlangsung pada tahun 100 hijriah atau 718 masehi.

Tidak dapat diketahui apakah selanjutnya Sri Indravarman memeluk Islam atau tidak. Tapi hubungan antara Sriwijaya Dan pemerintahan Islam di Arab menjadi penanda babak baru Islam di Indonesia. Jika awalnya Islam masuk memainkan peranan hubungan ekonomi dan dagang, maka kini telah berkembang menjadi hubungan politik keagamaan. Dan pada kurun waktu ini pula Islam mengawali kiprahnya memasuki kehidupan raja-raja dan kekuasaan di wilayah-wilayah Nusantara.

Pada awal abad ke-12, Sriwijaya mengalami masalah serius yang berakibat pada kemunduran kerajaan. Kemunduran Sriwijaya ini pula yang berpengaruh pada perkembangan Islam di Nusantara. Kemerosotan ekonomi ini pula yang membuat Sriwijaya menaikkan upeti kepada kapal-kapal asing yang memasuki wilayahnya. Dan hal ini mengubah arus perdagangan yang telah berperan dalam penyebaran Islam.

Selain Sabaj atau Sribuza atau juga Sriwijaya disebut-sebut telah dijamah oleh dakwah Islam, daerah-daerah lain di Pulau Sumatera seperti Aceh dan Minangkabau menjadi lahan dakwah. Bahkan di Minangkabau ada tambo yang mengisahkan tentang alam Minangkabau yang tercipta dari Nur Muhammad. Ini adalah salah satu jejak Islam yang berakar sejak mula masuk ke Nusantara.

Di saat-saat itulah, Islam telah memainkan peran penting di ujung Pulau Sumatera. Kerajaan Samudera Pasai menjadi kerajaan Islam pertama yang dikenal dalam sejarah.

Dan memang menurut van Leur, dia percaya bahwa motif ekonomi dan politik sangat penting dalam masuknya islam kepada penduduk Nusantara.[4]

Selain para pedagang, sebetulnya Islam juga didakwahkan oleh para ulama yang memang berniat datang dan mengajarkan ajaran tauhid. Tidak saja para ulama dan pedagang yang datang ke Indonesia, tapi orang-orang Indonesia sendiri banyak pula yang hendak mendalami Islam dan datang langsung ke sumbernya, di Makkah atau Madinah. Kapal-kapal dan ekspedisi dari Aceh, terus berlayar menuju Timur Tengah pada awal abad ke-16. Bahkan pada tahun 974 hijriah atau 1566 masehi dilaporkan, ada lima kapal dari Kerajaan Asyi (Aceh) yang berlabuh di bandar pelabuhan Jeddah.

Ukhuwah yang erat antara Aceh dan kekhalifahan Islam itu pula yang membuat Aceh mendapat sebutan Serambi Makkah. Puncak hubungan baik antara Aceh dan pemerintahan Islam terjadi pada masa Khalifah Utsmaniyah. Tidak saja dalam hubungan dagang dan keagamaan, tapi juga hubungan politik dan militer telah dibangun pada masa ini. Hubungan ini pula yang membuat angkatan perang Utsmani membantu mengusir Portugis dari pantai Pasai yang dikuasai sejak tahun 1521. Bahkan, pada tahun-tahun sebelumnya Portugis juga sempat digemparkan dengan kabar pemerintahan Utsmani yang akan mengirim angkatan perangnya untuk membebaskan Kerajaan Islam Malaka dari cengkeraman penjajah. Pemerintahan Utsmani juga pernah membantu mengusir Parangi (Portugis) dari perairan yang akan dilalui Muslim Aceh yang hendak menunaikan ibadah haji di tanah suci.

Selain di Pulau Sumatera, dakwah Islam juga dilakukan dalam waktu yang bersamaan di Pulau Jawa. Prof. Hamka dalam Sejarah Umat Islam mengungkapkan, pada tahun 674 sampai 675 masehi duta dari orang-orang Ta Shih (Arab) untuk Cina yang tak lain adalah sahabat Rasulullah sendiri Muawiyah bin Abu Sofyan, diam-diam meneruskan perjalanan hingga ke Pulau Jawa. Muawiyah yang juga pendiri Daulat Umayyah ini menyamar sebagai pedagang dan menyelidiki kondisi tanah Jawa kala itu. Ekspedisi ini mendatangi Kerajaan Kalingga dan melakukan pengamatan. Maka, bisa dibilang Islam merambah tanah Jawa pada abad awal perhitungan hijriah.

2. Alur Penyebaran Islam di Jawa
Sulit untuk mengetahui tokoh yang pertama kali memperkenalkan Islam di Jawa dari fakta sumber tradisional, meskipun kenyataannya banyak ditemukan dalam bentuk nisan bertulis yang menunjukkan adanya pengaruh agama Islam. Akan tetapi, hal itu dapat ditelusuri melalui alur hubungan negeri Cempa-Majapahit, yang menurut hemat kami karena adanya beberapa naskah mengatakan bahwa Cempa telah terlebih dahulu memeluk agama Islam, maka ketika terjadi hubungan perkawinan Cempa-Majapahit, oramg-orang pendatang dari dari Cempa telah masuk Islam. Hal ini juga didukung dengan pemakaman putri Cempa yang mengikuti tata cara Islam. Disamping beberapa temuan Ricklefs terhadap bebrerapa makam di situs Istana Majapahit, yang kemudian pada kesimpulannya bahwa makam-makam tersebut adalah makam orang-orang muslim. Dari tahun-tahun yang tertulis menunjukkan bahwa tahun-tahun tersebut adalah masa Majapahit sedang dalam puncak kejayaan. Puncak kejayaan Majapahit pada saat itu dipegang oleh Hayam Wuruk dengan patih Gajah Mada yang sangat terkenal. Juga ditemukannya bukti Candi Peri yang bercorak Cempa, yang dibangun pada masa hayam Wuruk bertahta. Semua ini semakin meyakinkan bahwa setelah tokoh-tokoh muslim semasa fatimah binti Maimun yang lebih awal, hubungan Cempa muslim melalui darawati menyebabkan Islam semakin dikenal kerajaan Hindu-Budha tersebut.

Generasi muslim berikutnya yang kemudian berperan besar sebagai tokoh penyebar Islam yang sangat berjasa adalah rombongan Raden Rahmat dari empa. Mereka inilah yang kemudian disebut sebagai tokoh generasi awal yang menjadi penyebar Islam di Jawa.

Dari segi wilayah pengislaman di Jawa, maka dapat diketahui bahwa wilayah Jawa Timur terlebih dahulu menerima Islam. Wilayah itu antara lain Trowulan, gresik, Tuban, Ampel, dan lingkungan Istana Majapahit. Adapun wilayah Jawa Tengah yang terlebih dahulu menerima Islam, adalah Jepara, Kudus dan daerah alas Roban, Batang, Jepara dan Kudus melalui perjalanan Raden Patah.

Media yang digunakan dalam penyebaran agama Islam masa awal adalah memanfaatkan jalur perdagangan dan jalur perkawinan. Disamping juga melalui pesantren, sebagaimana yang dirintis Sunan Ampel. Jalur perkawinan sebagaimana terjadi pada Darawati dari Cempa Muslim dengan Majapahit, atau sebagaimana raden Rahmat dengan Putri Wilatikta yang menurut hikayat Hasanudin putri itu bernama Nyai Gede Nila.[5]

3. Islam masuk ke Jawa dan pengaruhnya
Islam masuk ke Jawa secara akulturasi damai. Menurut beberapa sejarawan hal ini karena: Pertama, para pendakwah Islam yang datang mula-mula adalah para santri, ulama, pedagang dan para ahli sufi. Kedua, sikap tenggang rasa dan ramah dari orang Jawa yang mudah menerima dan menyesuaikan segala yang baru. Ketiga, melalui jalur perkawinan dan para pemeluk islam giat memberikan contoh tauladan.[6]

Peranan Wali Songo dalam perjalanan Kerajaan-kerajaan Islam di Jawa sangatlah tidak bisa dipisahkan. Jika boleh disebut, merekalah yang menyiapkan pondasi-pondasi yang kuat dimana akan dibangun pemerintahan Islam yang berbentuk kerajaan. Kerajaan Islam di tanah Jawa yang paling terkenal memang adalah Kerajaan Demak. Namun, keberadaan Giri tak bisa dilepaskan dari sejarah kekuasaan Islam tanah Jawa.

Sebelum Demak berdiri, Raden Paku yang berjuluk Sunan Giri atau yang nama aslinya Maulana Ainul Yaqin, telah membangun wilayah tersendiri di daerah Giri, Gresik, Jawa Timur. Wilayah ini dibangun menjadi sebuah kerajaan agama dan juga pusat pengkaderan dakwah. Dari wilayah Giri ini pula dihasilkan pendakwah-pendakwah yang kelah dikirim ke Nusatenggara dan wilayah Timur Indonesia lainnya.

Giri berkembang dan menjadi pusat keagamaan di wilayah Jawa Timur. Bahkan, Buya Hamka menyebutkan, saking besarnya pengaruh kekuatan agama yang dihasilkan Giri, Majapahit yang kala itu menguasai Jawa tak punya kuasa untuk menghapus kekuatan Giri. Dalam perjalanannya, setelah melemahnya Majapahit, berdirilah Kerajaan Demak. Lalu bersambung dengan Pajang, kemudian jatuh ke Mataram.

Meski kerajaan dan kekuatan baru Islam tumbuh, Giri tetap memainkan peranannya tersendiri. Sampai ketika Mataram dianggap sudah tak lagi menjalankan ajaran-ajaran Islam pada pemerintahan Sultan Agung, Giri pun mengambil sikap dan keputusan. Giri mendukung kekuatan Bupati Surabaya untuk melakukan pemberontakan pada Mataram.

Meski akhirnya kekuatan Islam melemah saat kedatangan dan mengguritanya kekuasaan penjajah Belanda, kerajaan dan tokoh-tokoh Islam tanah Jawa memberikan sumbangsih yang besar pada perjuangan. Ajaran Islam yang salah satunya mengupas makna dan semangat jihad telah menorehkan tinta emas dalam perjuangan Indonesia melawan penjajah. Tak hanya di Jawa dan Sumatera, tapi di seluruh wilayah Nusantara

Lebih dari itu, ajaran-ajaran Islam yang dibawa dan disampaikan oleh Walisongo memberikan pengaruh yang besar kepada orang Jawa. Misalnya, adanya kaitan yang erat antara pesantren dan tarekat. Banyak diantara guru ngaji pesantren (Walisongo) adalah jugs guru tarekat. Dengan menggunakan komunikasi tarekat-tarekat terbentuklah jaringan (network) lembaga pesantren dengan berpusat pada tempat kedudukan para Wali, antara lain di Cirebon, Kudus, Tuban, Sedayu, Gresik, Ngampel, Panarukan.[7]

IV. Kesimpulan
Dari pemaparan diatas, menjadi teranglah tentang runtutan sejarah masuknya Islam ke Nusantara. Atas teori bahwa Islam datang langsung dari Makkah dan Madinah (Arabia) pada awal abad 7 H. Terjadi harmonisasi antara Islam di Nusantara khususnya antara kerajaan Sriwijaya dengan pemerintahan Timur Tengah pada masa Khalifah Umar bin Abdul Azis. Bermain pada sektor ekonomi dan dagang yang pada perkembangannya berubah menjadi hubungan politik keagamaan.

Estafet penyebaran Islam tidak berhenti disitu, para ulama yang sering dikenal dengan sebutan Walisongo merupakan founding father atas berseminya Islam di tanah Jawa. Banyak ajaran Islam yang mereka sampaikan dapat diterima baik oleh orang Jawa. Mencerminkan keberhasilan kolaborasi antara Islam dan budaya Jawa.

DAFTAR PUSTAKA 
  • Suseno, Franz Maginz, 2003, Etika Jawa Sebuah, Jakarta: PT.Gramedia Pustaka Utama.
  • Musyarof, Ibtihadj, 2006, Islam Jawa, Jogjakarta: Tugu. 
  • Hariwijaya, M, 2004, Islam Kejawen, Jogjakarta: Gelombang Pasang, Cet II 
  • Al-Qurtuby, Sumanto, 2003, Arus Cina-Islam-Jawa, Jogjakarta: Gama Media.

[1] Franz magnis-Suseno, Etika Jawa, hal 1
[2] M. Hariwijaya, Islam Kejawen, hal 165-166
[3] M. Hariwijaya,loc.cit.
[4] Sumanto Al-Qurtuby, Arus Cina Islam-Jawa,hal 107.
[5] H. Abdul Jamil dkk, Islam dan Kebudayaan Jawa, hal 59-60
[6] M.Hariwijaya, op.cit. hal 169.
[7] Ibtihadj Musyarof, Islam Jawa, hal 18-19.

0 Response to "Sejarah Masuknya Islam Di Jawa dan Pengaruhnya"

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar anda. Kritik atau saran sangat saya harapkan untuk menjadikan lebih baik ke depannya. Komentar akan dimoderasi sebagai filter terhadap komentar-komentar yang tidak sesuai. Tabik!

Iklan Atas Artikel (WM2)

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel