-->

WM1

Qira'at

I. PENDAHULUAN


Qira’at jama’ dari qira’ah. Asalnya dari qara’a menurut bahasa. Tapi menurut istilah ilmiah ialah salah satu tempat keluar ucapan kata dalam Al-Qur’an. Ini menurut salah seorang ahli qira’at yang terkemuka .berbeda dari pendapat-pendapat ulama’ lain. Sanad-sanad itu tetap berangkai kepada Rasulullah SAW. Qira’at yang dilakukan orang sekarang ini dikembalikan pada masa sahabat. Diantara sahabat-sahabat Nabi yang masyhur dalam segi qira’at ialah: ubaiya, Ali bin Abi Thalib, Zaid bin Tsabit, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari dll. Dari orang-orang yang tersebut inilah kebanyakan orang mengambil, baik sahabat maupun tabi’in yang berada didaerah kerajaan. Semua mereka ini bersanadkan kepada Rasulullah SAW.


Para sahabat tidak semuanya mengetahui semua cara membaca Al-Qur’an. Sebagian mengambil satu cara bacanya dari Rasul, sebagian mengambil dua, dan yang lainnya mengambil lebih, sesuai dengan kemampuan dan kesempatan masing-masing. Para sahabat terpencar keberbagai kota dan daerah dengan membawa dan mengajarkan cara baca yang mereka ketahui sehingga cara baca menjadipopuler di kota atau daerah tempat mereka mengajarkannya. Terjadilah perbedaan cara baca Al-Qur’an dari suatu kota ke kota yang lain. Kemudian, para tabi’in menerima car abaca tertentu dari sahabat tertentu pra tabi’i al-tabi’in menerimanya dari Tabi’in dan meneruskannya pula kepada generasi berikutnya. Dengan demikian tumbuhlah berbagai ar-ra’ah yang kesemuanya berdasarkan riwayat. Hanya saja, sebagian menjadi populer dan yang lain tidak. Riwayatnya juga sebagian mutawatir dan yang lainnya tidak.


II. POKOK PERMASALAHAN


1. Apa Pengertian Qira’at?


2. Apakah Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at?


3. Sebutkan Macam-Macam Qira’at?


4. Apa Pengaruh Perbedaan Qira’at Terhadap Istinbath Hukum?


III. PEMBAHASAN
Pengertian Qira’at


Qiro’at adalah bentuk jamak dari kata qiro’at (ﻗﺭﺍﺀﺓ) merupakan bentuk masdar dari (ﻗﺭﺍﺀ) yang menurut bahasa berarti bacaan. Sedangkan menurut istilah (terminologis):






1. Menurut Imam Al-Zarkasyi


ﺍﻟﻗﺭﺍﺀ؛ﺍﺤﺘﻼﻑﺍﻠﻓﺎﻅﺍﻠﻭﺤﻰﻭﮐﻴﻓﻴﺘﻬﺎﻤﻥﺘﺨﻓﻴﻑﻭﺘﺸﺩﻴﺩﻭﻨﺤﻭﻫﺎ


Qira’at yaitu: perbedaan lafald-lafald Al-Qur’an, baik menyangkut huruf-hurufnya maupun pengucapan huruf-huruf tersebut.[1]


2. Menurut imam Al-Jazari


ﺍﻠﻗﺭﺍﺀﺕﻋﻠﻡﺒﮐﻴﻓﻴﺎﺕﺍﺩﺍﺀﮐﻠﻤﺎﺕﺍﻠﻗﺭﺃﺓﻭﺨﺘﻼﻓﻬﺎﺒﻌﺯﻭﺍﻠﻨﺎﻗﻠﺔ


Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya.


Menurut Ibn Al-Jazari, Al-Muqri adalah seorang yang mengetahui Qira’ah-qira’ah dan meriwayatkan kepada orang lain secara lisan.[2]


3. Menurut Dr. Abdul Hadi al-fadli


ﺍﻠﻗﺭﺍﺀﺍﺕ؛ﻋﻠﻡﻴﻌﻠﻡﻤﻨﻪﺍﺘﻓﺎﻕﺍﻠﻨﺎﻓﻠﻴﻥﻠﮐﺘﺎﺏﺍﷲﺘﻌﺎﻠﻰﻭﺍﺨﺘﻼﻓﻬﻡﻓﻰﺍﻠﺤﺫﻑﻭﺍﻻﺜﺒﺎﺕﻭﺍﻠﺘﺤﺭﻴﻙﻭﺍﻠﺘﺴﮐﻴﻥ ﻭﺍﻠﻓﺼﻝﻭﺍﻠﻭﺼﻝﻭﻏﻴﺭﺫﻠﻙﻤﻥﻫﻴﺌﺔﺍﻠﻨﻁﻕﻭﺍﻻﺒﺩﺍﻝﻭﻏﻴﺭﻩﻤﻥﺤﻴﺙﺍﻠﺴﻤﺎﻉ


Qira’at yaitu suatu ilmu untuk mengetahui cara pengucapan lafal-lafal al-qur’an, baik yang disepakati maupun di-ikhtilafkan oleh para ahli qira’at. Seperti: Hazf (membuang huruf), isbat (menetapkan huruf), tahrik (memberi harakat), taskin (memberi tanda sukun), fashl (memisahkan huruf), washl (menyambungkan huruf), ibdal (menggantikan huruf atau lafald tertentu), dll. Yang diperoleh melalui indra pendengaran.


4. Menurut imam syihabuddin al-qustalani


ﺍﻠﻗﺭﺍﺀﺕ؛ﻋﻠﻡﻴﻌﺭﻑﻤﻨﻪﺍﺘﻓﺎﻗﻬﻡﻭﺍﺨﺘﻼﻓﻬﻡﻓﻰﺍﻠﻠﻐﺔﻭﺍﻻﻋﺭﺍﺏ،ﻭﺍﻠﺤﺫﻑﻭﺍﻻﺜﺒﺎﺕ،ﻭﺍﻠﻓﺼﻝﻭﺍﻠﻭﺼﻝ،


ﻤﻥﺤﻴﺙﺍﻠﻨﻗﻝ


Qira’at yaitu: suatu ilmu untuk mengetahui kesepakatan serta perbedaan para ahli qira’at (tentang cara pengucapan lafal-lafal al-qur’an) seperti yang menyangkut aspek kebahasaan, irab, hazf, isbat, fashl, washl, yang diperoleh dengan cara periwayatan.


Dari definisi yang dikemukakan oleh al-Dimyathi dengan al-Qutshalani, tempat bahwa qira’at al-qur’an itu berasal dari Nabi SAW. Melalui Isma’ dan Al-Naql, adapun yang dimaksud Isma’ yaitu: bahwa qira’at Al-Qur’an itu diperoleh dengan cara langsung mendengar dari bacaan Nabi SAW. Sementara yang dimaksud dengan al-naql yaitu diperoleh melalui riwayat yang menyatakan bahwa qira’at al-qur’an itu dibacakan dihadapan Nabi SAW, lalu beliau mentaqrirkan (membenarkan)nya.[3]
Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qira’at


1. Latar Belakang Histories


qira’at sebenarnya telah muncul semenjak Nabi masih ada, walaupun tentu saja pada saat itu qira’at bukan merupakan sebuah disiplin ilmu.


Menurut catatan sejarah, timbulnya penyebaran qira’at dimulai pada masa tabi’in, yaitu pada awal 11 H. tatkala para qori’ sudah tersebardiberbagai pelosok. Mereka lebih suka mengemukakan qira’at gurunya dari pada mengikuti qira’at imam-imam lainnya. Qira’at-qira’at tersebutdiajarkan secara turun-temurun dari guru ke guru sehingga sampai kepada para imam qira’at, baik yang tujuh, sepuluh, atau yang empat belas.


Kebijakkan Abu Bakar As-Siddiq yang tidak mau memusnahkan mushaf-mushaf lain yang telah disusun Zaid bin Tsabit. Seperti mushaf yang yang dimiliki Ibn Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Miqdad bin Amar, Ubay bin Ka’ab dan Ali bin Abi Thalib, mempunyai andil besar dalam kemunculan qira’at yang kian beragam.perlu dicatat bahwa mushaf-mushaf itu tidak berbeda dengan yang disusun Zaid bin Tsabit dan kawan-kawannya. Kecuali pada dua hal saja yaitu kronologi surat dan sebagian bacaan yang merupakan penafsiran yang ditulis dengan lahjah tersendiri karena mushaf-mushaf itu merupakan catatan pribadi mereka masing-masing. Adanya mushaf-mushaf itu disertai dengan penyebaran para qari’ keberbagi penjuru, pada gilirannya melahirkan sesuatu yang tidak diinginkan, yakni timbulnya qira’at yang seemakin beragam.lebih-lebih setelah terjadinya transformasi bahasa dan akulturasi akibat bersentuhan dengan bangsa-bangsa bukan arabin sehingga pada akhirnya perbedaan qira’at sudah pada kondisi sebagaimana yang disaksikan Hudzaifah Al-Yamamah dan yang kemudian dilaporkannya kepada Utsman.


Diantara ulama’-ulama’ yang berjasa meneliti dan membersihkan qira’at dari berbagai penyimpangan adalah:


a. Abu ‘Amr ’Utsman bin Sa’id bin ‘Utsman bin Sa’id Ad-Dani (w. 444 H). dari Daniyyah. Anddusia, Spanyol dalam karyanya yang berjudul At-Taisir.


b. Abu Al-‘Abbas Ahmad bin ‘Immaroh bin Abu Al-‘Abbas Al-Mahdawi ( w.430 H) dalam karyanya yang berjudul kitab Al-Hidayah.


c. Abu Al-Hasan Thohir bin Abi Thoyyib bin Abi Gholabun Al-Halabi (w. 399 H) seorang pendatang dimesir, dalam karyanya yang berjudul At-Tadzkiriyyah.


d. Abu Muhammad Makki bin Abi Thalib Al-Qairawani (w.437 H) diCordova, dalam karyanya yang berjudul At-Tabshirah.


e. Abu Al-Qobim Abdurrahman bin Ismail, terkenal dengan sebutan Abu Syamah, dalam karyanya yang berjudul Al-Mursyid Al-Wajiz.


Abu syamah dipandang sebagai orang yang pertama kali berpendapat bahwa bacaan yang sesuai dengan bahasa arab walaupun hanya satu segi dan sesuai dengan mushaf imam (mushaf ‘Utsmani). Serta sahih sanadnya adalah bacaan yang benar tidak boleh ditolak. Jika kurang salah satu dari syarat-syarat itu, qira’at itu lemah atau syadz (aneh) atau Bathil. Sesudah itu para imam menyusun kitab-kitab mengenai qira’at. Orang yang pertama kali menyusun qira’at dalam satu kitab adalah Abu ‘Ubaidillah Al-Qosim bin Salam (w. 244 H). Ia telah mengumpulkan qira’at sebanyak-banyaknya, kurang lebih 25 macam. Kemudian menyullah imam-imam lainnya. Diantara mereka, ada yang menetapkan dibawah bilangan itu. Persoalan qira’at belum berkembang hingga masa Abu Bakar Ahmad bin ‘Abbas bin Mujahid. Dialah orang yang meringkas menjadi tujuh macam Qira’at (Qira’ah Sab’ah) yang disesuaikan dengan tujuh imam qari’.


Inisiatif Ibn Mujahid itu sempat memancing lahirnya kecaman dari sebagian ulama’, Ibn ‘Amar mencela keras Ibn Mujahid dan mengatakannya telah berbuat sesuatu yang tidak layak baginya. Ia dituduh telah mengaburkan persoalan dengan mengatakan bahwa qira’at yang tujuh itu adalah yang disebut dalam hadits Nabi (Inna Hadza Al-Qur’an Unzula’ala Sab’atahruf). Namun, berkat jasa Ibn Mujahid kita dapat mengetahui mana qira’at yang dapat diterima dan mana yang ditolak.


Ada beberapa faktor yang membuat sebagian ulama’ merasa keberatan atas inisiatif Ibn Mujahid.


a. Inisiatif Ibn Mujahid menginventarisasi qira’at menjadi tujuh memancing kekacauan dengan timbulnya cendensi umat untuk memahami kata “Sab’ah Ahruf” dalam hadits Nabi s ebagai qira’at sab’ah itu. Dari sekian pendapat mengenai kata “ahrufin” tidak ditemukan pendapat bahwa yang maksud katsa itu adalah Qira’ah Sab’ah. Bila kemudian ada pendapat bahwa yang dimaksud adalah Qira’ah Sab’ah. Hal itu muncul setelah dilakukan Inventarisasi qira’at oleh Ibn Mujahid.


b. Inisiatif Ibn Mujahid menginventarisasi qira’ah sab’ah tak pelak membuat sebagian ulama’ merasa keberatan. Mengapa hanya tujuh? Padahal, kajian tentang pertumbuhan qira’at yang sudah muncul semenjak masa Nabi yang kemudian melalui jalur periwayatan tersebar keberbagai pelosok, akan membawa kesimpulan begitu banyak qira’at yang pernah lahir. Oleh karena itu, keberatan sebagian ulama’ diatas- dilihat dari konteks diatas memang cukup beralasan.


c. Istilah qira’ah sab’ah belum masyhur pada masa Ibn Mujahid. Padahal qira’at itu sendiri sebenarnya sudah akrab semenjak abad II H. Ada kecenderungan dari ulama’ saat itu untuk hanya mengambil satu jenis qira’ah saja. Sementara qira’at-qira’at lainnya kalau tidak dianggap salah- ditinggalkan.


Ada beberapa pertimbangan mengapa Ibn Mujahid hanya memilih tujuh qira’at dri sekian banyak qira’at. Ketujuh tokoh qira’at itu dipilihnya dengan pertimbangan bahwa merekalah yang paling terkemuka, paling masyhur, paling bagus bacaannya dan memiliki kedalaman ilmu dan usia panjang. Yang tak kalah penting adalah bahwa mereka dijadikan iman qira’at oleh masyarakat mereka masing-masing.


Dengan demikian, bila hanya tujuh tokoh yang diturunkan Ibn Mujahid, tidaklah hanya ulama’ itu yang menuasai qira’at. Masih banyak ulama’ lain yang sangat berkompeten dalam hal ini, misalnya khalaf bin Hisyam dan Yazid Al-Qa’qa. Usaha Ibn Mujahid untuk sampai pada iman yang tujuh. Menurut subhi Ash-Shalih, hanya merupakan kebetulan saja. Oleh karena itu, menurut Al-Zarqani, seseorang tidak harus terpaku pada jumlah itu saja. Tetapi ia pun harus menerima setiap qira’at yang sudah memenuhi tiga persyaratan. Yakni sesuai dengan salah satu Rasm Utsmani, sesuai dengan kaidah Arab dan sanadnya shahih.


2. Latar Belakang Cara Penyampaian (Kaifiyat Al-Ada)


Menurut analisis yang disampaikan sayyid ahmad khalil, perbedaan qira’at itu bermula dari cara seorang membacakan qira’at itu kepada murid-muridnya. Kalau diruntut cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda itu, sebagaimana dalam kasus Umar dan Hisyam, di perbolehkan oleh Nabi. Lalu beberapa ulama’ mencoba merangkum bentuk-bentuk perbedaan cara melafalkan Al-qur’an itu sebagai berikut:


a) Perbedaan dalan I’rab atau harokat kalimat tanpa perubahan makna dan bentuk kalimat. Misalnya pada firman Allah SWT:


.....ﺍﻠﺫﻴﻥﻴﺒﺨﻠﻭﻥﻭﻴﺎﺀﻤﺭﻭﻥﺍﻠﻨﺎﺱﺒﺎﺒﺨﻝ.... (ﺍﻠﻨﺴﺎﺀ؛٣٧)


Artinya:


“…..Orang-orang yang kikir, dan menyuruh orang lain berbuat kikir”. (Q.S.An-Nisa’ (4)37).


Kata Al-Bakhl yang berarti kikir disini dapat dibaca fathah pada huruf Ba’nya sehingga dibaca “Bi Al-Bakhli” dapat pula dibaca ahammah pada Ba’nya sehingga menjadi “Bi Al-Bukhli”.


b) Perbedaan pada I’rab dan harakat (baris) kalimat sehingga mengubah maknanya. Misalnya pada firman llah SWT:


ﺭﺒﻨﺎﺒﺎﻋﺩﺒﻴﻥﺃﺴﻓﺎﺭﻨﺎ (ﺴﺒﺄ؛١٩)


Artinya:


“Ya tuhan kami, jauhkanlah jarak perjalanan kami (Q.S.Saba’(34):19)”


Kata yang di terjemahkan menjadi jauhkanlah di atas adalah ba’id karena statusnya sebagai fi’il amar; boleh juga dibaca ba’ado yang berarti kedudukannya menjadi fi’il madhi sehingga artinya telah jauh .


c) Perbedaan pada perubahan huruf antara perubahan I’rab dan bentuk tulisannya sementara maknanya berubah. Misalnya pada firman Allah SWT:


ﻭﺍﻨﻅﺭﺇﻠﻰﺍﻠﻌﻅﺎﻡﮐﻴﻑﻨﻨﺸﺯﻫﺎ (ﺍﻠﺒﻗﺭﺓ؛٢٥٩)


Artinya:


“Dan lihatlah kepada tulang belulang keledai itu. Kemudian kami menyusunnya kembali.”(Q.S. Al-Baqoroh(2):259).


Kata nunsyizuha (kamimenyusun kembali) yang ditulis dengan menggunakan huruf Zay (ﺯ) diganti dengan huruf (ﺭ) sehingga menjadi berbunyi nunsyiruha yang berarti “kami hidupkan kembali”.


d) Perubahan pada kalimat dengan perubahan pada bentuk tukisannya tetapi maknanya tidak berubah. Misalnya pada firman Allah SWT:


ﻭﺘﮐﻭﻥﺍﻠﺠﺒﺎﻝﮐﺎﻠﻌﻬﻥﺍﻠﻤﻨﻓﻭﺵ (ﺍﻠﻗﺎﺭﻋﺔ؛٢٥٩)


Artinya:


“Dan gunung-gunung seperti bulu yang dihambur-hamburkan” (Qs. Al-Qori’ah:259).


Beberapa qira’at mengganti kata Ka”Al-‘ihin” dengan Ka”Abh-Shufi” sehingga “bulu-bulu” berubah menjadi “bulu-bulu domba” perubahan seperti ini berdasarkan ijma’ ulama tidak dibenarkan, karena bertentangan dengan mushaf Utsmani.


e) Perbedaan pada kalimat dimana bentuk dan maknanya berubah pula. Misalnya pada ungkapan tabi’in mandhud.


f) Perbedaan pada mendahulukan dan mengakhirkannya. Misalnya pada firman Allah SWT:


ﻭﺠﺎﺀﺕﺴﮐﺭﺓﺍﻠﻤﻭﺕﺒﺎﻠﺤﻕ (ﻕ؛١٩)


Artinya:


“Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. (Qs. Qaf (50):19).


Konon menurut suatu riwayat, Abu Bakar pernah membacanya menjadi “waja’at sakrat Al-Haqq bi Al-Maut”. Abu Bakar menggeber kata “al-maut” kebelakang. Setelah mengalami pergeseran ini. Bila diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia, kalimat itu menjadi. “Dan datanglah sekarat yang benar-benar dengan kematian”.


Qira’at semacam ini, juga tidak dipakai, karena jelas menyalahi ketentuan yang berlaku.


g) Perbedaan dengan menambah dan mengurangi huruf. Seperti pada firman Allah SWT:


ﺠﻨﺎﺕﺘﺠﺭﻱﻤﻥﺘﺤﺘﻬﺎﺍﻻﻨﻬﺎﺭ (ﺍﻠﺒﻗﺭﺓ؛٢٥)


Artinya:


“Surga-surga yang menglir sungai-sungai didalamnya (Qs. Al-Baqoroh (2):25)


Kata Min pada ayat ini dibuang. Dan pada ayat serupa yang tanpa Min justru ditambah.[4]




Macam-Macam Qira’ah


Yang dimaksud dengan macam-macam qira’at disini yaitu ragam qira’at yang dapat diterima sebagai qira’at Al-Qur’an. Dan hal ini hanya menyangkut Qira’at Sab’at dan Qira’at Syazzat.










a. Qira’at Sab’at


Yang dimaksud dengan qira’at Sab’at yaiti Tujuh Versi qira’at yang dinisbatkan kepada para imam qira’at yang berjumlah tujuh orang, ragam qira’at sab’at itu ada tujuh macam: Qira’at ibnu ‘Amir, Qira’at Ibn Kasir, Qira’at ‘Ashim, Qira’at Abu ‘Amr, Qira’at Hamzah, Qira’at Nafi’, dan Qira’at Al-Kisa’i.[5]


b. Qira’at Syazzat


Qira’at syazzat yaitu sebagaimana ditemukan oleh sebagian ulama’ yakni Qira’at yang sanatnya shahih, sesuai dengan kaidah bahasa arab, akan tetapi menyalahi rasm al- mushhaf. Dengan demikian qira’at Syazzat tergolong qira’at Al-Qur’an yang dapat diterima eksistensinya, lebih khususnya lagi Qira’at Syazzat dimaksudnya sebagai tafsir.[6]


Sebagian ulama membagi macam-macam qira’at menjadi enam macam termasuk mengutip pendapat Ibnul-Jazri, Imam Suyuthi mengatakan bahwa:


1. Qira’at mutawatir yaitu apa yang dinukil oleh sejumlah orang, tidak mungkin terjadi kebohongan sampai kepada titik penghabisan.


2. qira’at masyhur yaitu sah sanad-sanadnya, namun belum sampai ketingkat mutawatir. Cocok bahasa arab dengan bentuk hurufnya itu. Terkenal pada qura’at. Tidak boleh terjadi kesalahan dan bukan pula menyalahi aturan. Yang semacam ini dikemukakan oleh ulama’, karena dia yang membacanya.


3. qira’at uhad yaitu tidak sah sanadnya. Berlain-lainan bentuk hurufnya. Atau tidak karuan bahasa arabnya, atau tidak termasyhur. Yang begini tidak boleh dibaca.[7]


4. qira’at yang syadz (menyimpang) yaitu sistem qira’at yang tidak benar isnadnya, seperti qira’at ibnus-sumaifa’ yang membaca surat yunus,92 sebagai berikut……..fal-yauma nunahhiika (huruf “ha”ringan) li-takuuna li man khalafaka (huruf”lam” berfathah) aayah.


5. qira’at maudhu’ yaitu qira’at yang berasal dari orang yang bersangkutan sendiri tanpa dasar dan tidak pasti asal usulnya.


6. Qira’at al-mudrik yaitu qira’at yang menyerupai susunan kalimat hadist-hadist, yakni qira’at yang menambahkan kalimat penaksiran kedalam ayat-ayat seperti qira’at sa’ad bin abi waqqash yang membaca firman Allah dalam surat An-nisa’: 12……..wa-lahu akhun au ukhtun min ummin falikullin min humaa dengan tambahan kalimat min ummin.[8]


Setiap qira’at Al-qur’an dapat digolongkan kepada qira’at yang shahih dan benar, bilamana memenuhi tiga persyaratan, sebagai berikut:


1) Sesuai dengan kaidah bahasa arab.


2) Sesuai dengan rasm mushaf utsmani.


3) Diriwayatkan dengan sanad yang shahih.[9]
Pengaruh Perbedaan Qiro’ah Terhadap Istimbath Hukum


Perbedaan qira’at al-qur’an yang berkaitan dengan substansi lafaz atau kalimat, ada kalanya mempengaruhi makna dari lafadz atau kalimat tersebut, dan ada kalanya tidak. Pandangan sebagian kecil ulama’ yang menyatakan, bahwa perbedaan Qira’at Al-Qur’an itu bukan bersumber dari Nabi SAW. Jawwad Ali mengatakan, bahwa penyebab utama dari adanya perbedaan qira’at al-qur’an adalah, ytidak adanya tanda huruf (ﺍﻠﻨﻗﻁ). Dan tanda baca (ﺍﻠﺸﮐﻝ) setelah dibukukannya Al-Qur’an dalam satu mushaf, sementara adanya tanda huruf (ﺍﻠﻨﻗﻁ) dan tanda baca (ﺍﻠﺸﮐﻝ) baru muncul selang beberapa lama setelah itu.


Para orientasis pada prinsipnya memiliki pandangan yang sama yaitu, bahwa perbedaan qira’at Al-Qur’an itu merupakan rekayasa dan ciptaan para ulama’ ahli qira’at, dan bukan berdasarkan sanad atau riwayat dari Nabi SAW. Menurut mereka, ada dua hal pokok yang menimbulkan terjadinya perbedaan qira’at Al-Qur’an yaitu:


1) Ketiadaan mushaf (Utsmani) dari tanda huruf (ﺍﻠﻨﻗﻁ).


2) Ketiadaan mushaf (Utsmani) dari tanda baca (ﺍﻠﺸﮐﻝ).[10]


Adapun perbedaan Qira’at Al-Qur’an yang khusus menyangkut ayat-ayat hukum, dan berpengaruh terhadap istinbath hukum, yaitu dalam surat al-maidah ayat 6 bahwa seseorang yang mau mendirikan salat (jika berhadas) diwajibkan untuk berwudhu. Sementara itu, para ulama’ berbeda pendapat tentang, apakah dalam wudhu, kedua kaki (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) wajib dicuci ataukah hanya wajib diusap dengan air? Jumhur ulama’cenderung memilih qira’at (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ). Dengan demikian, mereka berpendapat, bahwa dalam berwudhu kedua kaki wajib dicuci, dan tidak cukup diusap dengan Air.[11] Dalam ayat tersebut Allah SWT membatasi kaki (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) sampai dengan mata kaki, sebagaimana membatasi tangan (ﺍﻴﺩﻴﮐﻡ) sampai dengan siku (ﺍﻠﻤﺭﻓﻗﻴﻥ). Hal ini menunjukkan bahwa dalam berwudhu, kedua kaki wajib dicuci sebagaimana diwajibkannya mencuci kedua tangan.


Selain itu, jumhur berupaya menta’wilkan qira’at (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) sebagai berikut:


a. Sebenarnya Qira’at (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) kedudukannya ma’tuf kepada kata (ﻭﺃﻴﺩﻴﮐﻡ), akan tetapi kata (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) dibaca majrur disebabkan karena, berdekatan (ﻠﻠﺠﻭﺍﺭﺀﺍﻠﻤﺠﺎﻭﺭﺓ) dengan kata sebeumnya yang juga majrur yaitu (ﺭﺀﻭﺴﮐﻡ).


Hal ini diperolehkan, sebagaimana halnya dalam firman Allah SWT. Berikut:


ﻴﺭﺴﻝﻋﻠﻴﮐﻤﺎﺸﻭﺍﺫﻤﻥﻨﺎﺭﻭﻨﺤﺎﺱﻓﻼﺘﻨﺘﺼﺭﺍﻥ (ﺍﻠﺭﺤﻤﻥ/٥٥؛٣٥)


Kata (ﻨﺤﺎﺱ) dalam ayat tersebut bisa dibaca (ﻨﺤﺎﺱ) dengan syakl majrur, karena berdekatan (ﻠﻠﻤﺠﺎﻭﺭﺓ/ﻠﻠﺠﻭﺍﺭ) dengan kata sebelumnya yang juga majrur yaitu (ﻨﺎﺭ).


Namun demikian penta’wilan jumhur ulama’ sebagaimana disebutkan diatas, dibantah oleh sementara ulama’. Al-Razi misalnya, menyatakan bantahannya sebagai berikut:


1) Menyamakan bacaan suatu lafaz (dalam kedudukan I’robnya) dengan bacaan lafaz sebelumnya, dengan alas an karena kedua lafaz tersebut berdekatan(ﻠﻠﻤﺠﺎﻭﺭﺓ/ﻠﻠﺠﻭﺍﺭ) biasanya hanya berlaku dalam sya’ir, itupun dilakukan karena keterpaksaan. Al-qur’an sebagai kalam Allah, terbebas dari hal semacam ini.


2) Dibolehkannya menyamakannya bacaan antara dua lafaz dengan alasan karena keduanya berdekatan (ﻠﻠﻤﺠﺎﻭﺭﺓ), hanya berlaku apabila aman dari kemungkinan adanya kerancuan(ﺍﻻﻠﺘﺒﺎﺱ). Contohnya, seperti dalam kalimat berikut:


ﻫﺫﺍﺠﺤﺭﻀﺏﺨﺭﺏ


Lafadz (ﺨﺭﺏ) yang statusnya marfu (ﺨﺭﺏ), bisa dibaca majrur (ﺨﺭﺏ) karena diketahui dengan pasti, bahwa lafadz (ﺨﺭﺏ) merupakan sifat dari lafadz (ﺠﺤﺭ), dan tidak mungkin merupakan sifat dari lafadz (ﻀﺏ). Sedangkan dalam ayat Al-Qur’an yang menjadi topik pembicaraan dalam hal ini, yaitu lafadz (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ), keamanan dari kerancuan seperti ini tidak terdapat.


3) Dibolehkannya menyamakan bacaan antara dua lafadz, dengan alasan seperti tersebut pada butir (1) dan (2), hanya berlaku apabila antara kedua lafadz tersebut, tidak dihubungkan dengan huruf ‘athf (ﺤﺭﻑﻋﻁﻑ).


b. Lafaz (ﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) dalam ayat tersebut dibaca majrur, semata-mat karena ma’thuf (mengikut) kepada lafadz (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) yang majrur. Akan tetapi ma’thuf-nya hanya dari segi lafadz, dan tidak dari segi makna (dalam pengertian: usaplah kepalamu dan(cucilah) kakimu, dengan garinaf (alasan).


Sementara itu, sebagian ulama’, antara lain, ulama’ dari kalangan syi’ah imamiyyah, cenderung memilih qira’at (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ). Dengan demikian, mereka berpendapat bahwa didalam berwudhu hanya diwajibkan mengusap (dengan air) dua kaki, dan tidak diwajibkan mencucinya. Mereka menta’wilkan qira’at (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) dengan menyatakan, bahwa lafadz (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) yang manshub, ma’thuf (mengikuti) kepada (ﻭﺍﻁﺠﺭﻭﺭﺤﺤﻝﺍﻠﺠﺎﺭ), atau huruf ﺏ (ﺍﻠﺒﺎﺀ) dalam lafadz (ﺒﺭﺀﻭﺴﮐﻡ) hanya merupakan tambahan (ﺯﺍﺌﺩﺓ), sementara lafadz(ﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) ma’thuf kepada(ﻤﺤﻝﺍﻠﺭﺅﺱﺍﻠﻤﻨﺼﻭﺏ).


Dalam pada itu, sebagian ulama’ lainnya, yaitu ulama’ ahl al-zhahir berpendapat, bahwa dalam berwudhu diwajibkan menggabungkan (ﺍﻠﺠﻤﻊ) antara mengusap dan mencuci dua kaki, dengan alas an, mengamalkan atau melaksanakan ketentuan hukum yang terdapat dalam kedua versi qira’at tersebut, yaitu qira’at (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) dan qira’at (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ).


Sedangkan Ibn jarir al-thabari berpendapat, bahwa seseorang yang berwudhu, boleh memilih antara mencuci kaki dan mengusapnya (dengan air).


Qira’at (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) dipahami oleh jumhur ulama’ dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu diwajibkan mencuci kedua kaki. Sementara qira’at versi lainnya (ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ) dipahami oleh sebagian ulama’ dengan menghasilkan ketentuan hukum, bahwa dalam berwudhu tidak diwajibkan mencuci kedua kaki, akan tetapi hanya diwajibkan mengusapnya dengan air.


Dalam pada itu, sementara ulama’ lainnya mengakui adanya ketentuan hukum yang berbeda dalam kedua versi qira’at tersebut, sehingga diantara mereka ada yang membolehkan untuk memilih salah satu dari kedua ketentuan hukum tersebut, dan ada pula yang mewajibkan untuk menggabungkan kedua ketentuan hukum tersebut.[12]

IV. KESIMPULAN


Qira’at adalah bentuk jama’ dari kata qira’ah yang secara bahasa berarti bacaan. Sedangkan secara umum/ istilah terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama’ sehubungan dengan pengertian qira’at ini, termasuk menurut pendapat Ibn al-jazari:


Qira’at adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat al-qur’an dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukulnya.


Perbedaan pendapat tentang qira’at yang shahih itu ada juga gunanya diantaranya ialah:


1. Menunjukkan keampuhan kitabullah dan mencegah dari bertukar letak dan perubahan-perubahan.


2. Meringankan umat dan mudah membacanya.


3. Ijazul Qur’an pada yang di I‘jazkannya.


Buktinya tiap-tiap bacaan yang mengenahi hukum syar’i, tanpa mengulang lafadz seperti:


ﻭﺍﻤﺴﺤﻭﺍﺒﺭﺅﺴﮐﻡﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡﺇﻠﻰﺍﻠﮐﻌﺒﻴﻥ (ﺍﻠﻤﺎﺌﺩﺓ؛٦)


Artinya: “ Dan sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu sampai kedua mata kaki”. (Qs. Al-Maidah: 6).


Dengan menasabkan dan mengkhafadkan pada ﻭﺃﺭﺠﻠﮐﻡ pada waktu membaca mashab, jelas bagi hukum membasuh kaki, karena adanya athaf kepada ma’mul, perbuatan membasuh.


ﻓﺎﻏﺴﻠﻭﺍﻭﺠﻭﻫﮐﻡﻭﺍﻴﺩﻴﮐﻡﺇﻠﻰﺍﻠﻤﺭﺍﻓﻕ (ﺍﻠﻤﺎﺌﺩﺓ؛٦)


Artimya: “ Basuhlah mukamu dan kedua tanganmu sampai kedua siku”.


Dibaca dengan mengajarkan bagi hukum membasuh kedua telapak ketika adanya apa yang dilakukan karena adanya athaf kepada ma’mul, perbuatan membasuh.


ﻭﺍﻤﺴﺤﻭﺍﺒﺭﺅﺴﮐﻡﻭﺍﺭﺠﮐﻡ (ﺍﻠﻤﺎﺌﺩﺓ؛٦)


Artinya: “ Sapulah kepalamu dan (basuhlah) kakimu”.


Disini kami memperjuangkan hukum, tanpa memperpanjang. Inilah arti I’jaz pada I’jaz al-qur’an.


4. menyatakan apa yang menjadi tujuan perkataan itu adalah mujmal (global) pada bacaan lain.


V. PENUTUP


Pemakalah menyadari betul bahwa dalam proses pembuatan dan menyampaikan makalah ini tak luput dari kekurangan atau kelalaian pemakalah. Oleh karena itu, pemakalah mengharap kritik dan saran konstruktif dari pembaca atau audiens, agar dapat menjadi bahan perbaikan khususnya untuk makalah ini, umumnya makalah mata kuliah yang lain.









DAFTAR PUSTAKA


Af, Hasanuddin. 1995. Perbedaan Qira’at dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur’an. Jakarta. Raja Grafindo Persada.


Anwar, Rosihon, 2008. Ulumul Qur’an. Bandung. Pustaka Setia.


As-Shalih, Subhi. 1990. Membahas Ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta. Pustaka Firdaus.


Quthan, Mana’ul. 1993. Pembahasan Ilmu Al-Qur’an. Jakarta. Rineka Cipta.


Wahid, Ramg Abdul. 1993. Ilmu Ulumul Qur’an 1. Jakarta. Raja Grafindo Persada.

4 Responses to "Qira'at"

  1. berkunjung dan menambah bekal ilmu agama yang disajikan blog ini...mantap gan...support selalu utk blog agan

    ReplyDelete
  2. Mantap agan nih... Jempol ane bwt agan smua... hehe

    ReplyDelete
  3. Coba bahas masalah yang lebih fleksibel broooo,.,.,.,.biyar kaum jalanan juga islami di tempatnya,.,.,.,.,.islam biyar tidak terasa berat bagi mereka,.,.,.,.mereka.

    ReplyDelete

Silakan tinggalkan komentar anda. Kritik atau saran sangat saya harapkan untuk menjadikan lebih baik ke depannya. Komentar akan dimoderasi sebagai filter terhadap komentar-komentar yang tidak sesuai. Tabik!

Iklan Atas Artikel (WM2)

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel