-->

WM1

Korelasi Islam dan Jawa Dalam Bidang Sastra


I. Pendahuluan

Sastra dalam bahasa Indonesia berasal dari bahasa sangsekerta, yaitu kata “sas” yang dalam kata kerja berarti mengarahkan, memberi petunjuk, akhiran “tra” menunjuk pada alat, sarana sehingga berarti alat untuk mengajar, buku petunjuk, buku intruksi atau buku pengajaran. Biasanya kata sastra diberi awalan “su” (susastra). Su artinya baik dan indah, sehingga istilah susastra berarti pengajaran atau petunjuk yang tertuang dalam suatu tuisan yang berisi hal-hal yang baik dan indah atau dengan kata lain belles letter (tulisan yang indah dan sopan).

Sebagai bahan dasar sastra adalah bahasa, bahasa yang digunakan dalam kesusastraan memang berbeda dengan bahasa keilmuan maupun bahasa yang digunakan sehari-hari. Menurut …. Mengemukakan bahwa bahasa sastra mempunyai fungsi ekspresif, menunjuk pada nada dan sikap pembicara atau penulisnya. Bahasa sastra berusaha mempengaruhi, membujuk dan pada akhirnya berusaha mengubah sikap pembaca. Hal yang penting dalam bahasa sastra adalah tanda simbolisme suara dari kata-katanya. Dalam bahasa sastra sarana-sarana dimanfaatkan secara lebih sistematik dan dengan sengaja.

II. Pembahasan 

1. Jenis-jenis karya sastra 

Menurut Atmazaki mengemukakan jenis karya sastra meliputi sebagai berikut:

a) Karya sastra yang berbentuk prosa. Pada dasarnya kata prosa tidak langsung berhubungan dengan karya sastra. Prosa lebih dekat dengan pemaparan, dan sebuah pemaparan dikatakan mengandung nilai karya sastra karena:
  • Didalam pemaparan terdapat deretan peristiwa yang disampaikan dalam rangkaian kalimat yang membentuk wacana.
  • Dalam peristiwa itu perlunya sebuah tokoh
  • Dalam deretan peristiwa itu perlunya peran dan tokohnya adalah fiktif (bukan realitas).
b) Karya sastra yang berbentuk puisi .herman j,waluyo. Mengemukakan bahwa puisi sebagai bentuk kesusastraan yang paling tua karya-karya besar dunia seperti ;oelipus , hamlet , mahabarata, Ramayana ,bratayuda , dan lain sebagainya ditulis dengan bentuk puisi. 

c) Karya sastra yang berbentuk drama , karya sastra yng berbentuk drama ini dari tentukan dengan adaya dialog antar tokoh (cerita terjadi Karena diolog) , dan dapat dari nikmati melalui pementasan[1]

2. Gambaran puisi karya (karya sastra) dari Indonesia khususnya dari jawa 

Di jawa karaya yang paling tua adalah puisi (lama) yang lazim di sebut mantra, muncul apa yang di sebut parikan dan syair atau wangsalan , dan di jawa di kenal dengan nama macapat yang merupakan puisi jawa.

Mantra merupakan puisi lama jawa dipakai untuk berhubungan dengan religiositas manusia terutama dalam berhubungan dengan hal-hal yang gaib atau supra natural (termasuk tuhan). mantra ini di buat untuk mempermudah manusia berhubungan dengan yang kuasa. Agar seseorang mudah dalam melaksanakan permohonan kepada tuhan, maka dari ucapkan mantra-mantra. Mantra-mantra dari anggap mangandung daya ikrar atau daya linuwih, sehingga tidak sembarang orang dapat mengucapkannya hanya orang tertentu (terpilih karena dayalinuwih) sajalah yang diperbolehkan mengucapkannya seperti seorang dukun, orang pinter, dan sebagainya. 

Setiap tradisi dari setiap suku bangsa memiliki konsep bagaimana orang berhubungan dendan hal-hal yang gaib (supranatural) seperti mantra. Mantra pada prinsipnya untuk permohonan, baik permohonan yang mengandung (niat atan kehendak) positif maupun negatif. Mantra untuk keperluan kebaiakan (nilai positif) seperti mantra (ilmu) pengasihan, permohonan agar turun hujan, dan sebagainya. Mantra untuk keperluan kejahatan (nilai negatif) seperti mantra untuk menjalankan pencurian, ilmu untuk menceraderai seseorang dengan santet, tenung, santet, dan sebagainya.

Selain mantra, karya sastra yang berbentuk puisi lama yang di kenal dari Indonesia adalah pantun dan syair. Jenis-jenis puisi lama lainya adalah, talibun, gurindam, dan sebagainya . 

Fungsi mantra dapat dilihat terutama dalam hubungannya dengan jenis mantra itu sendiri, mantra bias berfungsi dalam hubungan dengan keluarga, permainan anak-anak, pengobatan, kecantikan, cinta kasih, karisma/wibawa, kekebalan, mata pencaharian dan keamanan. Jadi, setiap mantra memiliki fungsi masing-masing.

Dalam hubungannya dengan keluarga misalnya, mantra bias berfungsi pada saat ibu akan melahirkan, kalau seorang ibu hendak melahirkan seperti mantra sakit, hendak melahirkan, mantra menyamankan/ memudahkan dalam bermain / bertarung laying di udara, agar menang dalam bermain logo selain itu mantrs bias pula berfungsi sebagai hiburan anak-anak, mantra yang berhubungan dengan pengobatan berfungsi untuk agar kelihatan badan kelihatan bercahaya kalau dipandang orang, mantra yang berfungsi cinta kasih fungsinya untuk mendapatkan atau menyunting perempuan (gadis) dengan mudah selain itu suami tetap tertarik dengan istri, mantra yang berhubungan dengan karisma memiliki fungsi agar jiwa selalu berani, untuk menjaga keamanan diri dari yang gangguan jahat, agar disenangi orang lain. Mantra yang berhubungan dengan kekebalan berfungsi untuk mengenalkan diri dari segala tusukan senjata tajam, mengangkay benda berat dan lain sebagainya. [2]

Dalam tradisi budaya jawa, karya sastra yang menyerupai pantun dan syair adalah parikan dan wangsalan, parikan merupakan puisi berupa pantun model jawa, yang hanya ada saran bunyi pada dua baris yang lazim disebut sampiran. Sementara itu, wangsalan berupa; dua baris pertama tidak hanya merupakan saran bunyi, tetapi merupakan teka-teki yang akan terjawab pada unsur-unsur isinya. Contoh parikan; wes suwe ora jamu /jamu pisan godhoge tela/ wis suwe ora ketemu/ ketemu pisan gawe gelo. Contoh wangsalan; jeneng sela (apu)/wader kali sesonderan (sepat)/ apuran toy yen wonten lepat kawula . 

3. Keterkaitan islam dengan karya sastra jawa

Maksud keterkaiatn antara islam dengan karya sastra jawa adalah keterkaiatan yang bersifat imperatif moral atau mewarnai, islam mewarnai dan menjiwai karya-karya baru, sedangkan puisi(tembung /sekar mecapat) dipakai untuk sarana memberikan berbagai petunjuk / nasehat yang secara subtansial merupakan petunjuk / nasehat yang bersumber pada ajaran islam. Hal ini terjadi kerana para pujangga tersebut beragama islam, kualitas keislaman para pujangga saat ini tentunya berbeda dengan kualitas saat sekarang ini. Semua karya-karya sastra baru yang sering digunakan para pujangga keraton Surakarta.(srihamangkunegara, rangga warsita) memakai (tembung/sekar macapat) dalam menyusun karya-karya sastranya. Ditambah lagi puisi jawa baru (tembung sekar macapat). Jelas bermentrum islam. Artinya, munculnya tembung sekar macapat ini berbarengn dengan munculnya islam di Jawa, yaitu setelah kejatuhan kerajaan majapahit yang Hindu.

Istilah interelasi artinya islam dijawakan sedangkan jawa di islamkan. Walaupun demikian, warna islam terlihat sekali dalam subtansinya yaitu:

1) Unsur ketauhidan (upaya mendekatkan diri kepada tuhan Yang Maha Kuasa)
2) Unsur kebajikan (upaya memberikan petunjuk atau nasihat kepada siapapun)
4. Karya-karya sastra Pujangga yang menggunakan puisi jawa lama

1) Karya-karya sastra Sri Mangkunegara IV (serat-serat piwulung)

a. Serat Warayagnya (1784), memakai tembang dahandang gula yang berisi 10 bait
b. Serat wirawiyata, memakai tembang sinom (berisi 42 bait), tembang pangkur (berisi 14 bait).
c. Serat Sriyatna, memakai tembang DhanDhanggula berisi 15 bait.
d. Serat Nayakawara, memakai tembang pangkur yang berisi 21 bait dan tembang DhanDhagula berisi 12 bait.
e. Serat Taliatma (1799), memakai tembang Dhandhanggula berisis 18 bait.

2) Karya-karya sastra R.NGB. Ranggawarsita (tak terkenal)

a. Serat kalatindha, memakai tembang sinom berisi 12 bait .
b. Serat sabdjati, memakai tembang megatruh berisi 19 bait.
c. Serat wedharaga, memakai tembang Gambuhberisi 38 bait.

3) Karya sastra susuhunan pakubuwana IV ;

Serat wulangreh, yang memakai tembamg-tembang Dhandanggula berisi 8 bait , khinanti berisi 16 bait, Gambuh berisi 17 bait, Pangkur berisi 17 bait, Maskumambang berisi 34 bait, Megatruh berisi 17 bait, Darma berisi 12 bait, Wirangrong berisi 27 bait. 

5. Keterkaitan islam dengan karya-karya sastra jawa . 

Bentuk puisi yang di pakai dalam membuat karya karya sastra para pujangga kerataon adalah puisi jawa yang memiliki mentum islam, yaitu mijil, kinanti, pucung, sinom, asmaradana, dhandagula, pangkur, maskumambamg, durma, gambuh, dan megatruh. Tembung-tembung yang berbentuk puisi jawa itu mengandung nilai sastra.Alasannya puisi pada hakekatnya adalah karya sastradan semua karya sastra bersifat imajintifdan ekpresif imajinatif pencipta puisi atau penyair baru memiliki nilai sastra apabila si pencipta puisi mampu mengungkapkan ide-idenya dalam bentuk bahasa secara cermat. 

Tembang-tembang macapat yang merupakan puisi jawa baru yang terungkap dalam karya sasrta, oleh parapujangga di pakai untuk menyampaikan beberapa ide mereka. Tembang mecapat memiliki sifat ekpresiatif dan imajinatif, konotatif dan menjelma dalam struktur fisik maupun strutur nonfisik atau bain secara terpadu, sifatyang demikian yang merupakan persyaratan sebuah puisi yang memiliki nilai sastra yang berkualitas. 

Maksud keterkaitanantara islam dengan karya sastra jawa adalah keterkaitan yang sifatnya imperatf moral, artinya keterkaitanya itu menunjukan warna keseluruhan/corak yang mendominasi karya-karya tersebut. Karya-karya satra jawa adalah karya sastra para pujangga keraton Surakarta yang hidup pada zaman periode jawa baru yang memiliki metrum islam yang mendominasi karya-karya jawa baru yang baik dan sebagainya. 

6. Pengarang sastra Jawa modern dan tantangan zaman

Sejak bangsa Jawa bergabung menjadi bangsa Indonesia, sedang predikat dan identitas lama menjadi suku bangsa, maka anggota komunitas suku bangsa ini dihadapkan pada pilihan baru, khusus bagi pengarang sastra Jawa modern, kehendak untuk tetap memakai wahana bahasa Jawa sebagai medium ekspresi literal, kehadirannya tertindih oleh prioritas yang lebih besar, sehingga sarana dan prasarana sastra Jawa modern pun dipojokkan. Orientasi hidup menjadi warga bangsa Indonesia, secara langsung mengendorkan intensitas danggerart mengembangkan kehidupan sastra modern.

Para pengarang sastra Jawa modern tidak lagi memuja sejumlag dewa, sebagaimana para pujangga Jawa kuno. Mereka pun tidak tergiur pada belaian mitos dan legenda, sebagaimana para pujangga Jawa madya. Keberada dewa maupun mitos dan legenda, sekalipun mungkin hendak diaktualisasikan kedalam sastra Jawa modern, mereka mestilah terlibat secara ekstensial terhadap kehidupan masa kini, sekalipun tidak berarti mereka menganut paham ekstensial Perancis. [3]

7. Memahami sastra secara kontekstual

Apa yang dimaksud dengan sastra kontekstual yakni pemahaman atas kaseusastraan dalam kaitannya dengan konteks social historis yang bersangkutan untuk singkatnya, pemahaman seperti itu selanjutnya paham kontekstual.

Paham kontekstual muncul belakang ini sebagai salah satu perlawanan awal terhadap faham universal yang kini dominan dalam kasustraan Indonesia. Dalam paham universal konteks kesusastraan dianggap tidak penting kasusastraan itu sendiri.

Perbedaan kedua paham itu bukanlah sekedar perbedaan dua macam selera kasusastraan. Tapi perbedaan pemahaman tentang kehidupan social serta sikap dan tindakan masyarakat. Karena itu perlawanan faham kontekstual tidak hanya tertuju pada persoalan kasusastraan itu sendiri saja. Untuk memahami kedua faham itu secara mendasar, kita perlu menggali permasalahan pada tiga pokok mendasar dalam kesustraan :

a. Karya sastra
b. Hakikat sastra
c. Manusia bersastra. [4]

8. Karya-karya satra jawa kontemporer yang islami. 

Karya-karya jawa kontemporer (zaman kemerekaan) sulit untuk di temukan karena kebanyakan pembuat puisi masih enggan untuk mencipta yang islami. Kebanyakan mereka itu membuat karya –karya sastra yang bersifat njawani dari pada yang islami. Juga, puisi jawa yang islami belum di anggap ngetren, sehingga kabanyakan mereka lebih menyukai puisi yang njawani. 

Walaupun demikian, masih ada penyair yang mengungkapkan ide-idenya lewat tembang mecapat dengan warna islami seperti contoh berikut ini.

a) Bektiya Mring Pangeran , tembang pucung ; 

“Bocah- bocah mesthine rak padha emut /ngalam donya ika / bumi saisine kuwi/ sing nitahake iku kabeh gusti allah “. 

“Penemune wong ingkang waskhita iku / kabeh titah donya / gonolongken catur yaki/ titah mati uwit kewan lanmanungsa’. 

“Kahanane tiah kasebut punika / nyata nyata lawan cetha / manungsa tinitah inggil/ aja ngamunggung peh unggullira”.

“Ngayomana kabeh titah sak ngisoran / sihe den ketokno / welasana kabeh kuwi / ojo podo sawiyah –wiyah mring kewan” 

“Ing sarehning kang paring kamulyan iku/ Allah kang kuwasa / mula kudu tansah eling / asih bekti marang asmane pangeran “.

“Kang tan emut lan nyawiyah iku gemblung / ngedohno pangeran / kubliger kagedhen melik / mrana-mrana mbaela mbaela gawea durhaka “.

“Akibate wong kang sarak iku / bakal nyangga wirang / ketula-ketula ketali / aji gondohong jati garing uripiro”.

“Mula iku bocah-bocah kangsatuhu / aja bosen keniba / amumun dina iki / ngabektiya marang pangeran”.

“Yen ngalingi uripe manungsa iku / sugih tuwin mlarat / luhur lan asor puniki/ kabeh iku padha nendang lahir batos”.

“Mulanira kumbahen atimu iku / ngestokkendhawuhya / lan nerak pepacuh Widhi / dipun tlatosp pemangkune santosa”.

b) “Bektiya marang wong tuamu”: Tembang gambuh.

“Rungokna pituturku / padha bektiya mring wong tuamu / ora susah kanthik nganggondadak mikir / prelune ngajeni iku / rasakna kang padha tlatos”.

“Sawangen cempe iku / nalikane arep ngombe susu / duwe wajib marang mbokne iku kaki / mendhek nekukake dhengkul / katon sujudmarang embok”.

“Lamun tinitah luhur / aja nganti kalah karo wedhus / dha rasakna kapenakmu saiki / mangan nyandhang kari matur / pak mbok kula nyuwun arto”.

“nggone manyir gumagus / ora sumbut nggone golek butuh / direwangi ados kringet niba tangi / wong tua disambat sebut / nyan ati kaya ajura”.

“Tresnane wong tuamu / nalikane kowe durung metu / supoahe sadina-dinap rihatin / kudu ngene ngono iku / amrih anak lahir dhenok”.

III. PENUTUP

Demikianlah penululis menuis tugas makalah ini apabila ada sesuatu pembahasan yang keluar dari konteks pembahasan ini datangya dari saya sendiri, karena Allah SWT menciptakan makhluknya tidak ada yang sempurn, begitu juga dengan penulisan makalah ini pastilah ada kekuranga dan kelebihan. Oleh karena itu, saran dan kritik sangat kami harapkan dari semua pembaca demi perbaikan makalah ini selanjutnya.


DAFTAR PUSTAKA
  • Amin Darori, dkk, Islam dan kebudayaan Jawa, Yogyakarta: Gramedia, 2002
  • Djoko Pradopo, Rochmat, Wajah Indonesia dalam sastra Indonesia, Yogyakarta: 1992


0 Response to "Korelasi Islam dan Jawa Dalam Bidang Sastra"

Post a Comment

Silakan tinggalkan komentar anda. Kritik atau saran sangat saya harapkan untuk menjadikan lebih baik ke depannya. Komentar akan dimoderasi sebagai filter terhadap komentar-komentar yang tidak sesuai. Tabik!

Iklan Atas Artikel (WM2)

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel